Syekh Nawawi al-Bantani merupakan sosok ulama multidimensional dengan
latar belakang pendidikan pesantren. Sebagai seorang 'alim, nama beliau sudah
sangat di kenal baik di kalangan akademisi maupun praktisi pendidikan Islam di
seluruh penjuru dunia. Melalui karya-karya dan pemikirannya yang monumental, beliau
telah memberikan pengaruh dalam berbagai bidang keilmuan. Sampai sekarang,
karya-karya syekh Nawawi masih terus di kaji dan di ajarkan sehingga memberikan
pengetahuan tentang ajaran Islam yang menyejukkan umat.
Di Indonesia, syekh Nawawi telah banyak meletakkan landasan
teologis dan ukhuwwah dalam tradisi keilmuan khususnya di dunia
pesantren. Hal ini terlihat dari karya-karya beliau yang di jadikan bahan
pembelajaran dalam pesantren tradisional khususnya di daerah Jawa. Bahkan, di
kalangan komunitas pesantren, Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama
penulis kitab tetapi juga merupakan seorang mahaguru sejati (the great
scholar). Karena, beliau adalah tokoh yang piawai dalam gerakan dan
pembaharuan pemikiran pendidikan. Sekaligus, beliau juga turut andil dalam
membentuk intelektual tokoh-tokoh pendiri pesantren yang kemudian banyak
menjadi pioneer berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Kiprah syekh Nawawi dalam dunia pendidikan dapat di rasakan melalui
karya-karya beliau dalam berbagai bidang keilmuan, seperti ; ilmu tauhid, fiqh,
tasawuf, dan tafsir. Kesemuanya itu telah memberikan pengaruh dalam membentuk wordview
keilmuan yang di kembangkan dalam lembaga pendidikan pesantren. Selain itu,
sebagai ulama asal Indonesia beliau juga telah berhasil membawa Indonesia dalam
dunia intelektual muslim dunia khususnya negara-negara Timur Tengah yang sangat
produktif dalam keilmuan. Melalui makalah ini, pengkaji mencoba untuk
mengenalkan, mengabstraksikan serta mengindetifikasikan pemikiran syekh Nawawi
al-Bantani. Dengan keterbatasan referensi yang dimiliki pengkaji, makalah ini mencoba
menyampaikan pemikiran beliau tentang pendidikan serta menganalisa relevansinya
dengan tuntutan modern khususnya dalam bidang pendidikan.
1.
Riwayat
hidup syekh Nawawi al-Bantani
Terlahir dengan nama Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi bin Ali
al-Jawi al-Bantani, pada tahun 1813 M bertepatan 1230 M. Ayahnya bernama Haji
Umar bin Arabi, seorang penghulu, sekaligus pemimpin agama yang diangkat oleh
Bupati pada masa kolonial Belanda. Silsilah dari garis ayahnya mencapai ke
Ali Zainal Abidin bin Hasan putra Fatimah az-Zahra binti Rasulullah. Ibunya
adalah Zubaidah binti Muhammad Singaraja.[1]
Muhammad Nawawi lahir di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Serang, pada waktu
itu masih masuk wilayah karesidenan Banten.[2]
Pendidikan awal Syekh Nawawi diperoleh dari ayahnya, Umar bin Arabi
yang pada waktu itu mengajarkan sendiri dasar-dasar pengetahuan kepada
anak-anaknya. Selanjutnya, sang ayah mengirimnya untuk belajar kepada seorang
ulama masyhur di Serang yang bernama kyai Sahal. Setelah itu, Nawawi
melanjutkan pendidikannya kepada Raden Haji Yusuf di Purwakarta. Setelah
menyelesaikan pendidikannya di Purwakarta, Nawawi berkesempatan menunaikan
ibadah haji pada usia yang relatif muda.[3]
Pada usia 15 tahun, Nawawi berangkat ke tanah suci Makkah untuk
menunaikan ibadah haji. Namun, setelah selesai proses ibadah haji beliau
memutuskan untuk tetap tinggal di Makkah karena merasa tertarik dengan sistem
pembelajaran halaqah di Masjidil Haram. Sehingga, ia memutuskan
untuk bermukim di Makkah selama tiga tahun.[4]
Semasa di Masjidil Haram, ia belajar dengan para ulama-ulama besar,
seperti ; Syekh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di
Indonesia) dan Syekh Abdul Ghani Bima, seorang ulama asal Indonesia (Bima) yang
bermukim di Makkah. Kemudian, ia juga belajar pada Sayyid Ahmad Dimyati dan
Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya ke Madinah
bersama Syekh Muhammad Khatib al-Hambali. Selanjutnya, ia melanjutkan
pengembaraannya dalam menuntut ilmu ke Mesir dan belajar kepada para ulama
besar, seperti Abdul Hamid Daghaslani dan Yusuf Sumbulaweni.[5]
Setelah tiga tahun bermukim di Makkah, Nawawi kembali ke Indonesia dengan khazanah
keilmuan yang telah ia peroleh. Ketika itu, ia masih menyempatkan diri untuk belajar
kepada Syekh Qurra seorang ulama besar di daerah Karawang.[6]
Sekembalinya dari Karawang, Nawawi menetap di Tanara untuk
menjalankan misinya yaitu mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah di
perolehnya. Namun, kondisi negara Indonesia yang masih di bawah kolonial
Belanda menjadikan setiap gerak-geriknya selalu mendapatkan sorotan dari
pemerintah penjajah. Karena merasa tidak tenang dengan keadaan tersebut, ditambah
keinginannya untuk terus menuntut ilmu hingga akhirnya ia memutuskan untuk
meninggalkan tanah kelahirannya dan menetap di Makkah. Tepatnya di kampung
Syi'ib, dekat dengan Jabal Qubais. Disanalah Nawawi bertempat tinggal, sampai
akhir hayatnya.
Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkannya menjadi salah satu
murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib
Sambas uzur menjadi imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk untuk
menggantikan beliau. Sejak saat itulah, ia menjadi imam Masjidil Haram
dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain itu, beliau juga mengajar dan menyelenggarakan
halaqah untuk mengajar murid-muridnya di lingkungan Masjidil Haram.
Sebagai seorang alim yang kaya akan khazanah keilmuan, beliau selalu di
kerubuti murid-muridnya untuk menimba ilmu darinya. Prestasi mengajarnya cukup
memuaskan dan karena kedalaman pengetahuan agama yang dimiliki, akhirnya Nawawi
bergelar Syekh dan pengaruhnya semakin semakin luas tersebar kepada murid-muridnya.[7] Hampir
setiap hari dari pukul 07.00-12.00, syekh Nawawi memberikan kuliah yang telah
dipersiapkan sesuai tingkatan murid-muridnya. Dari murid tingkat dasar tata
bahasa Arab, dan murid-murid yang cukup pintar, yaitu yang banyak terlibat dalam
proses mengajar di tempat tinggalnya masing-masing. Murid dari tingkatan kedua
itulah yang kemudian oleh syekh Nawawi untuk menggantikan sebagian tugas beliau dalam mengajar.[8]
Pada tahun 1870 M, kesibukan Syekh Nawawi bertambah dengan menulis
kitab. Inisiatif menulis kitab tersebut datang dari desakan sebagian kolega dan
sahabatnya dari Jawa. Beliau dikenal sebagai penulis yang produktif, khususnya
komentar terhadap karya-karya klasik sebelumnya, dalam banyak bidang.
Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab Syarh (komentar)
dari ulama-ulama sebelumnya yang popular dan dianggap sulit di pahami. Alasan
menulis syarh selain karena permintaan orang lain, syekh Nawawi juga
berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami
perubahan (ta'rif) dan pengurangan.[9]
Karya-karyanya mencapai seratusan judul, kebanyakan berupa syarh atas karya
ulama terdahulu, sekalipun beliau mempunyai pemikiran yang orisinal. Memang
kecenderungan keilmuan pada abad ke-13 masih diliputi tradisi taqlid.
Karya-karya semacam syarh dan hasyiyah, mengandung orisinilitas tertentu.
Penulisan kedua bentuk karya ini jelas melibatkan proses kreatif, sejak dari
memahami apa yang ditulis pengarang, perenungan, refleksi sampai kepada
pengungkapan kembali ke dalam bentuk tulisan. Dalam menyusun karyanya, syekh
Nawawi selalu berkonsultasi dengan para ulama-ulama besar lainnya. Sebelum di
cetak, naskah tersebut akan terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Karya-karya
beliau cepat menyebar ke berbagai penjuru dunia karena mudah di pahami dan
padat kandungannya.[10]
Syeikh Nawawi
al-Bantani mengajar di Masjidil Haram menggunakan bahasa Jawa dan Sunda
ketika memberi keterangan terjemahan kitab-kitab bahasa Arab. Banyak murid-muridnya
yang berasal dari Indonesia, kemudian sekembalinya ke tanah air mereka akan menjadi ulama
terkenal. Di antara mereka ialah, Kiai Haji Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang
(pendiri PBNU); Kiai Haji Raden Asnawi, Kudus; Kiai Haji Tubagus Muhammad
Asnawi Caringin, Banten; Syeikh Muhammad Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi
(Sumba, Nusa Tenggara); Syeikh Abdus Satar bin Abdul Wahhab as-Shidqi al-Makki,
Sayid Ali bin Ali al-Habsyi al-Madani dan lain-lain. Tok Kelaba al-Fathani juga
mengaku menerima satu amalan wirid dari Syeikh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani
yang diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani.[11]
Salah seorang
cucunya, yang mendapat pendidikan sepenuhnya dari Syekh Nawawi al-Bantani
adalah Syeikh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Jawi al-Bantani (1285 H./1868 M.-
1324 H./1906 M.). Banyak pula murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang memimpin
secara langsung barisan jihad di Cilegon melawan penjajahan Belanda pada tahun
1888 Masehi. Di antara mereka yang dianggap sebagai pemimpin perlawanan
Perjuangan di Cilegon ialah Haji Wasit, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji
Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Para ulama
pejuang bangsa ini adalah murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang dikader di Mekkah.
Apabila disebut KH. Hasyim As'ari merupakan tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, maka
Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Sehingga, di sela-sela pengajian kitab-kitab
karya gurunya terebut, KH. Hasyim As'ari sering bernostalgia bercerita tentang
kehidupan Syekh Nawawi bahkan sampai meneteskan air mata karena besarnya
kecintaan beliau terhadap gurunya yaitu Syekh Nawawi al-Bantani.[12]
Selain yang tersebut
diatas, masih banyak murid-murid syekh Nawawi yang berasal dari seluruh penjuru
dunia. Bahkan beliau menjalin hubungan intensif dengan orang-orang Arab
khususnya para ulamanya. Sampai beliau mendapatkan simpati dari para ulama
Timur Tengah. Kemudian akhirnya Syekh Nawawi mendapatkan beberapa gelar
kehormatan yang di anugerahkan kepadanya, yaitu :[13]
1. Imam Ulama
al-Haramain "إمام العلماء الحرمين" (Tokoh Ulama dua tanah suci : Makkah dan
Madinah)
2. Syaikh al-Masyayih lil Nashir al-Ma'arif al-Diniyyah fi Mekah
al-Mukarramah "شيح المشايخ
لنشر المعارف الدينية في مكة المكرمة"
(Guru Besar dalam bidang ilmu-ilmu Agama di kota suci Makkah)
3. Sayyid Ulama al-Hijaz "سيد علماء الحجاز" (Penghulu Ulama
Hijaz)
4. Sayyid al-Fuqaha wa al-Hukama al-Mutaakhir "سيد الفقهاء المتأخر"
(Penghulu ulama fiqh dan cendekiawan modern)
Gelar-gelar
tersebut merupakan penghormatan ulama Timur-Tengah kepada Syekh Nawawi
al-Bantani berkat karya-karya beliau yang bermutu dan banyak beredar di
Timur-Tengah.
Gelar pertama dan kedua di berikan
oleh para ulama dan pemerintah Hijaz atas kerja kerasnya dalam menyebarkan
agama Islam, melalui tulisan-tulisannya. Adapun dua gelar terakhir diberikan
oleh para ulama Mesir.[14]
Khusus mengenai gelar Ulama al-Hijaz, yaitu setelah syekh Nawawi menulis
kitab tafsirnya Marah Labib, beliau mengirimkan naskahnya kepada ulama
Makkah untuk diteliti isinya lebih lanjut. Ternyata isinya disetujui, dan
karena tidak ada informasi sejauh mana kesimpulan akhir dari penelitian para
ulama Makkah. Kemudian, syekh Nawawi mengirimkan naskah tafsirnya kepada para
ulama Mesir untuk diteliti. Tetapi, tidak ada informasi penting seputar hasil
akhir dari penelitian yang dilakukan oleh para ulama Mesir. Mungkin tidak ada
koreksi yang berarti, tetapi justru syekh Nawawi mendapatkan gelar sebagai Sayyid
Ulama al-Hijaz.[15]
Gelar-gelar tersebut merupakan bukti nyata bahwa syekh Nawawi telah memainkan
peranan penting dalam wacana intelektual di dunia Islam. Karena syekh Nawawi
telah berkarya dan mendapatkan gelar kehormatan dari dua negeri, yaitu Makkah
dan Madinah yang dianggap sebagai pusat dunia ilmu dalam Islam.
Syekh Nawawi melalui
karya-karyanya sangat dikenal di kalangan masyarakat muslim, terutama di dunia
pesantren. Dalam bidang keilmuan, beliau dikenal ahli di bidang Teologi Islam,
Fikih, akhlak/tasawuf, bahasa dan kesusastraan Arab serta tarikh
(kelahiran/kehidupan Nabi Muhammad SAW). Sedang di bidang kependidikan Islam hampir
luput dari pengamatan, padahal banyak percikan-percikan pemikiran kependidikan
dalam banyak karyanya di berbagai disiplin ilmu seperti tafsir, hadits, dan
akhlak/tasawuf. Oleh karena itu, upaya rekonstruksi dan mensistemastisasi
pemikirannya secara konseptual menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi dunia
keilmuan Islam.[16]
Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir. Seringkali
beliau hanya mengirimkan manuskripnya dan setelah itu tidak memperdulikan lagi
bagaimana penerbit menyebarkan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan
royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum
pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina,
Thailand dan juga negara-negara Timur Tengah. Di antara karya-karyanya adalah:[17]
1. Muraqah As-Su’ud At-Tashdiq; komentar dari kitab Sulam at-Taufiq.
2. Nihayatuz-Zain; komentar dari kitab Qurratul ‘Ain
3. Tausiyah ‘Ala Ibn Qasim; komentar dari kitab Fathul Qarib.
4. Tijan Ad-Durari; komentar dari kitab Risalatul Baijuri.
5. Tafsir Al-Munir; yang dinamai Marahi Labidi Li Kasyfi Ma’ani Al-Qur’an Al-Majid.
6. Sulamul Munajat; komentar dari kitab Safinatus Sholat
7. Nurudz Dzalam; komentar dari kitab Aqidatul Awam.
8. Kasyifatus Saja; komentar dari kitab Safinah an-Naja
9. Muraqil Ubudiyyah; komentar dari kitab Bidayatul Hidayah.
10. Uqudul Lujain Fi Bayaniz Zaujain; sebuah kitab yang berisikan
tuntutan membangun rumah tangga.
11. Bahjatul Wasa’il; komentar dari kitab Risalatul Jami’ah
12. Madarij as-shu’ud; komentar dari kitab Maulid Barzanzi.
13. Salalimul Fudlala’; yang dinilai dengan Hidayatul Adzkiya.
14. Ats-Tsamarul Yani’ah; komentar dari
kitab Riyadhul Badi’ah.
15. Nashaihul ‘Ibad, kitab yang berisi nasihat-nasihat para ahli
ibadah.
Pada usia 84 tahun, tepatnya pada
tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M syekh Nawawi al-Bantani wafat di tempat
kediamannya, kampung Syi’ib Ali, Makkah. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman
Ma’la, Makkah berdekatan dengan makam Ibn Hajar dan Siti Asma bin abu Bakar
Siddiq. Beliau wafat pada saat sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan
dan menjelaskan tentang Manhaj
at-Tholibin-nya Imam Yahya bin Syaraf bin Mura bin Hasan bin Husain bin
Muhammad bin Ammah bin Hujam an-Nawawi.[18]
2.
Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani
dan relevansinya terhadap dunia modern
1.
Ide-ide sentral pendidikan Syekh
Nawawi Al-Bantani
Mengenai penciptaan manusia dan
tujuan hidupnya, Allah telah berfirman : "Tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia kecuali agar mereka menyembah kepada-Ku", maksud kata
menyembah atau beribadah adalah meliputi seluruh tingkah laku manusia. Seperti dalam
ayat lainnya : "Sesungguhnya sembahyangku, ibadah hajiku, hidupku, dan
matiku semuanya adalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam". Sehingga,
ibadah dalam arti yang luas itulah tujuan hidup manusia. Dan itu jugalah
sepatutnya yang harus menjadi tujuan pendidikan Islam.[19]
Namun, manusia mempunyai keterbatasan-keterbatasan sesuai dengan sifat
kemanusiaannya dan dibatasi dengan sunnatullah yang pasti. Karena adanya
keterbatasan itu, maka ilmu pengetahuan yang ditemukannya pun bersifat relatif
dan nisbi. Untuk itu manusia tetap berada di dalam lingkungan Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah, dan Tauhid al-Asma
wa al-Sifah. Sehingga manusia dalam pemikiran pendidikan Islam
bersifat teosentris.[20]
Keberhasilan dalam menata
kebudayaan termasuk pendidikan Islam merupakan perpaduan antara kehendak dan
kemauan bebas manusia, hereditas, dan pengaruh dunia luar terhadap peserta
didik. Tentu tiga faktor ini merupakan antroposentris yakni hasil dari
akal budi manusia sesuai dengan sunnatullah yang diketahui dan diarahkan
untuk mencapai kesejahteraan dunia. Dalam pandangan Islam, pola pemikiran
seperti ini tidaklah cukup, karena mengingat keterbatasan-keterbatasan manusia.
Untuk itu mau tidak mau manusia harus bersandar kepada Yang Maha Pengatur Jagad
Raya dan segala sunnatullah-Nya. Potensi-potensi fisiologis dan
psikologis manusia tidaklah cukup jika hanya mengandalkan perjanjian primordial dengan Tuhan. Potensi-potensi itu harus dikembangkan melalui pedidikan.
Karena tanpa ilmu maka manusia tidak akan mampu mengemban amanah khalifah dan
melaksanakan ubbudiyah yang
merupakan tanggung jawab manusia untuk menunaikannya.[21]
2.
Prinsip-prinsip aktivitas
Pendidikan Islam.
Hakikat pendidikan dan pengajaran
dalam Islam menurut syekh Nawawi mencakup term ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Pendidikan mencakup transfer of knowledge, transfer of value, transfer of methodology, dan
transformasi. Pendidikan mencakup jasmani (praktik/amal), intelektual,
mental/spiritual dan berjalan sepanjang hidup dan integral.[22]
Sifat-sifat pendidikan yang
dikemukakan oleh para ahli pendidikan Islam termasuk Syekh Nawawi sangat ketat.
Hal ini karena peranan guru dalam Islam tidak sekedar alih ilmu, nilai dan
metode, tetapi juga transformasi (membentuk kepribadian peserta didik). Di
samping itu diyakini bahwa para pendidik menempati posisi ulama sebagai pewaris
para nabi, sehingga pendidik harus dapat menjadi teladan bagi peserta didiknya.
Menurut Syekh Nawawi tujuan memperoleh ilmu (tujuan pendidikan) ialah mardatillah dan memperoleh
kehidupan ukhrawiyah, memberantas
kebodohan, memajukan Islam, melestarikan Islam dengan kaidah-kaidah ilmu serta
sebagai perwujudan dari rasa syukur karena diberi akal dan tubuh yang sehat.
Kewajiban bersyukur mencakup aspek keilmuan (ranah kognitif), aspek rasa senang
(ranah afektif), dan menggunakan nikmat Tuhan sesuai dengan permintaan pemberi
nikmat yakni Allah (ranah psikomotor dan spiritual).[23]
Untuk mencapai tujuan pendidikan
tersebut memerlukan pemikiran tentang muatan pendidikan Islam. Dari berbagai
pernyataan Syekh Nawawi, hal utama yang diberikan dalam proses pendidikan
adalah masalah ilmu-ilmu keagamaan yang wajib personal. Sedangkan yang paling
utama dari kewajiban personal itu ialah iman tauhid.[24]
Kurikulum pendidikan Islam yang
tidak didasarkan pada tauhid akan melahirkan manusia yang serba tergantung
kepada makhluk, dan akan melahirkan manusia-manusia yang menyimpan tuhan-tuhan
kecil selain Allah serta melahirkan musyrik-musyrik kecil pula. Dalam kurikulum
pendidikan Islam, Syekh Nawawi menekankan ilmu muqaddimaat karena ilmu-ilmu keagamaan itu berbahasa Arab dan
peserta didik berkewajiban mempelajarinya. Pada masa sekarang ini bahasa sangat
dipentingkan dalam kurikulum pendidikan Islam. Bahkan kelemahan-kelemahan
sekolah-sekolah keagamaan sekarang ini ialah kelemahan penguasaan bahasa. Hal
ini sependapat dengan pendapat tokoh pendidikan Islam kontemporer, karena di
samping menganggap penting pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh (acquired)
melalui akal juga mementingkan pengetahuan melalui wahyu (perennial).
Sebab wahyu, al-Qur'an dan Sunnah ini tertulis dalam bahasa Arab. Maka keahlian
bahasa Arab, terutama yang berkenaan dengan tuntutan dasar Islam seperti ibadat
sembahyang dan lain-lain haruslah dikuasai oleh murid-murid dari tingkat dasar.[25]
Peserta didik sebagai
makhluk educandum dan educandus menurut Syekh Nawawi
sangat memperhatikan lingkungan kebudayaan termasuk pendidikan dan sosialnya.
Kehidupan peserta didik berada dalam suatu kontrak sosial. Eksistensi peserta
didik berada dalam interdependensi baik secara sosial maupun lingkungan
kebudayaan. Pengaruh lingkungan luar terhadap peserta didik sangat signifikan.
Untuk itu Syekh Nawawi membuat etika peserta didik, agar lebih selektif dalam
memilih lingkungan sosial dan teman dalam pergaulan.[26]
1. Membersihkan hatinya dari
kotoran-kotoran dan dosa untuk menerima ilmu, memeliharanya dan mendapatkan
hasilnya.
2. Selalu mencari
ridha gurunya sekalipun berbeda pendapat dengannya, tidak boleh mengumpat atau
memfitnahnya, dan tidak boleh mencari-cari kesalahannya secara
sembunyi-sembunyi.
3. Ia seharusnya tamak dalam
belajar, disiplin dalam seluruh waktunya, malam, siang, berada di tempat dan
waktu musyafir.
4. Bersabar atas perilaku guru dan kejahatan
akhlaknya.
5. Memperhatikan kesahehan
pelajaran yang ia dapatkan secara benar dan meyakinkan dari gurunya.
Adapun prinsip-prinsip metodik
dalam pendidikan Islam menurut pendapat Syekh Nawawi, sebagai berikut:[28]
1. Menyajikan mata pelajaran
secara jelas dimulai dari yang mudah, yang konkrit yang dapat ditangkap oleh
akal pikiran peserta didik, baru kemudian secara bertahap dibawa kepada yang
lebih sulit dan abstrak.
2. Dalam penyampaian
materi, pendidik harus melihat keadaan peserta didiknya terutama dalam hal
kemampuan dan tipologinya.
3. Menggunakan metode
mengajar sesuai dengan keadaan peserta didiknya.
4. Guru dalam
menyampaikan materi tidak menambah pelajaran sebelum pelajaran yang terdahulu
dipahami peserta didiknya karena hal itu akan membuat peserta didik menjadi
malas.
5. Prinsip
pengulangan (tikrar) dalam
pengajaran.
Selain itu, Syekh Nawawi juga
mengemukakan bahwa etika relasi guru dan murid juga memberikan etika bersama
antara guru dan murid. Yaitu keduanya tidak boleh melanggar kewajiban, fungsi
dan kedudukan masing-masing pihak, seperti adanya penyakit ringan dan
semisalnya yang dengannya ia bekerja atau sibuk. Dan ia meminta sembuh dengan
ilmu dan tidak boleh bertanya kepada seseorang dengan cara menekan dan
melemahkan. Bagi penanya yang demikian tidak berhak mendapatkan jawaban.[29]
Salah satu lembaga pendidikan
yang penting ialah pendidikan keluarga. Keluarga memiliki dampak yang besar
dalam pembentukan perilaku dan pengembangan vitalitas dan ketenangan dalam
keluarga. Melalui keluarga, anak-anak mendapatkan bahasa, nilai dan norma serta
kecenderungan mereka.[30] Ulama-ulama Islam klasik menekankan pentingnya peranan
pendidikan bagi keluarga dan pentingnya keluarga memegang peranan itu terutama
pada usia kanak-kanak. Hal itu berdasar pengalaman-pengalaman mereka sendiri,
juga pengalaman dan perhatian orang-orang sebelumnya. selain itu, nash-nash
al-Qur'an, sunnah dan bekas-bekas peninggalan Assalaf-Saleh yang banyak
menekankan pentingnya peranan pendidikan bagi keluarga.[31]
Syekh Nawawi menambahkan bahwa tanggung jawab pendidikan dalam keluarga tidak
hanya mengirimkan anak kepada guru, tetapi juga tentang biaya pendidikannya.
Apabila keluarga tidak mampu, maka biaya pendidikan dibebankan kepada
pemerintah, sedangkan apabila pemerintah tidak mampu maka tanggung jawabnya
dibebankan kepada orang-orang yang mampu.[32]
3.
Hal-hal yang mewarnai pemikiran
pendidikan Islam Syekh Nawawi
Dari uraian diatas, pengkaji
menggaris bawahi beberapa hal yang mewarnai pemikiran pendidikan Syekh Nawawi.
Pertama, latar belakang pendidikan agama, seperti pesantren. Pengetahuan
agamanya yang mendalam terlihat dalam berbagai pemikiran pendidikan beliau
selalu mengutip ayat-ayat al-Qur'an, sunnah, dan riwayat-riwayat lain beserta
perawinya serta pendapat ulama terkemuka. Kedua, peran guru-gurunya juga
mewarnai pemikiran dan kepribadiannya. Dari sekian banyak guru, yang sangat
berpengaruh dalam pemikirannya adalah Syekh Sayyid Akhmad Nakhrawi dan Syekh
Sayyid Ahmad Dimyathi. Ketiga, madzhab dan tarekat yang dianutnya
yakni madzhab Syafi’i dan tarekat Qadiriyah. Keempat,
perkembangan pemikiran pada saat Syekh Nawawi berkecimpung dalam dunia
akademik. Hal ini terlihat dari seringnya beliau mengutip pendapat pemikir abad
klasik dan pertengahan, namun beliau juga dipengaruhi oleh pemikiran abad
modern (1800 M). Seperti konsep pendidikan menurut Syekh Nawawi, menurutnya
pendidikan adalah ibadah sebagai reformasi sosial.[33]
3. Relevansi
pemikiran syekh Nawawi terhadap dunia modern
Posisi Syekh Nawawi dalam peta
pemikiran pendidikan Islam posisi pemikirannya lebih dekat kepada perenialis-enensialis
madzhabi. Karena dari sisi parameternya, beliau dalam memperkuat uraian
pemikiran pendidikan banyak mengemukakan nash, dan pemikiran salaf asshalih
masa abad klasik dan pertengahan. Disamping itu, ia mempertahankan dan
melestarikan pemikiran para pendahulunya yang dianggap relevan dengan situasi
sekarang. Dikatakan 'relevan' karena menurut syekh Nawawi, hasil pemikiran itu
selalu terbuka untuk dikritik bahkan ditinggalkan. Dari sisi ciri-ciri
pemikirannya, menekankan pada pemberian syarh dan hasyiyah terhadap pemikiran
pendahulunya dan berani mengkritisi atau mengembangkan pemikiran pendahulunya
untuk merekonstruksi pemikirannya sendiri. Dengan adanya pengembangan bahkan
berbeda dengan yang di-syarh dan di-hasyiyah, menempatkan beliau
mempunyai kemampuan yang orisinial di bidang pendidikan Islam.[34]
Dalam menggambarkan ide-ide dasar
pendidikan, kecenderungan syekh Nawawi terhadap nuansa agamisnya lebih dominan
sehingga aspek lain menjadi kurang dominan. Penafsiran realitas berpangkal pada
agama, maka pendidikan pun dijadikannya sebagai instrumen untuk mencapai
tujuan-tujuan keagamaan.[35]
Pemikiran Syekh Nawawi tersebut
tentu memiliki dampak positif dan dampak negatif edukatifnya. Dampak edukatif
positifnya adalah rasa tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam pada
pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa tanggung jawab moral.
Penghargaannya terhadap persoalan pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan
menilainya sebagai wujud tanggung jawab keagamaan yang sangat luhur. Tugas
mengajar dan belajar tidak sekadar sebagai tugas-tugas profesi kerja dan
tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni sebagai tuntutan
kewajiban agama. Tanggung jawab dan kewajiban agama sebagai titik sentral baik
dalam kontruksi tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan. Atau dengan
kata lain jika tuntutan tidak sejalan dengan tuntutan keagamaan, maka yang
harus didahulukan ialah tuntutan keagamaan.[36]
Adapun dampak negatif edukatifnya.
Syekh Nawawi menjadikan term al-’ilm yang dalam nash bersifat
mutlak menjadi bersifat muqayyad (terbatas),
hanya pada ilmu keagamaan, dan kecenderungan pencapaian spiritual yang lebih
menonjol. Mendorong pemikiran pendidikan Islam ke arah pengabaian urusan dunia
dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang sebenarnya boleh dinikmati. Oleh karena
itu pengabaian urusan dunia, maka ilmu-ilmu yang bersifat keduniaan dikuasai
oleh non muslim dan menjadi lemahnya pelaksanakan amar makruf nahi munkar
dalam reformasi dan transformasi sosial yang bermoral. Padahal penguasaan dunia
sebagai sarana pendakian kebahagiaan di akhirat.[37]
Ide-ide Syekh Nawawi tentang
etika pendidik dan peserta didik dan etika bersama terdapat implikasi bahwa
tokoh ini melihat peserta didik masih memerlukan tuntunan dan bimbingan.
Peserta didik belum bisa lepas dari pendidik, ia tetap dalam bimbingan dan
pengawasan pendidik. Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa, namun
memiliki potensi yang luar biasa. Untuk itu pendidik berperan besar untuk
mengaktualisasikannya.[38]
Dari berbagai keterangan Syekh
Nawawi tentang kurikulum pengajaran, terdapat implikasi bahwa memandang
pengetahuan itu berdasarkan dari sudut pandang aplikatif dari norma-norma agama
bukan dari sudut substansi ilmu tersebut. Dengan kata lain dasar atau hal yang esensial
didahulukan kemudian disusul dengan materi lain. Mendahulukan matan kitab
dari pada syarh dalam pendidikan. Mendahulukan kewajiban personal
kemudian disusul dengan kewajiban komunal dan sunnah komunal.[39]
Akhirnya, pengkaji melihat bahwa
pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani dalam dunia pendidikan Islam yang di gagasnya
tetap relevan untuk di aktualisasikan dalam dunia modern dan masyarakat
Indonesia yang religious dan multicultural. Seperti,
prinsip-prinsip pendidikan yang mengacu kepada tauhid illahiyyah dan
reformasi sosial. Sifat dasar manusia dan proses perkembangannya ialah fitrah
tauhid-dualis-interaktif berpengaruh dalam proses pembelajaran. Dana
pendidikan yang dibebankan kepada orang-orang yang mampu di kalangan umat Islam
termasuk prinsip yang dapat direfleksikan dalam dunia pendidikan dewasa ini.
Kesimpulan
Syekh Nawawi al-Bantani adalah
seorang ulama dan intelektual yang legendaris. Melalui karya-karyanya yang
mendunia dalam berbagai bidang, menjadikannya panutan oleh banyak pemburu ilmu
pengetahuan. Selain ilmu-ilmu agama, beliau juga ahli dalam bidang pendidikan. Karya-karyanya
sangat luar biasa, karena banyak memiliki kandungan syarh yang padat tentang
karya-karya ulama terdahulu dan telah di modifikasi sehingga memudahkan
pembacanya. Pemikiran pendidikannya sangat komulatif dari mulai ide dasar,
nilai-nilai, sampai panduan aktivitas pembelajaran dalam Islam. Dasarnya adalah
kajiannya dari para pemikir klasik, pertengahan dan modern yang kemudian di
integrasikan dengan buah pemikirannya sendiri. Menjadikan hasil dari
pemikirannya sangatlah realitas dan dapat memenuhi kebutuhan para praktisi
pendidikan Islam. Ditambah dengan pondasi pengetahuan keagamaan serta pemahaman
hukum-hukum Islam yang mendalam, serta pengaruh para guru sehingga membentuk
karakter yang matang. Pemikirannya dalam pendidikan Islam sebagian besar masih
relevan untuk di terapkan dalam kehidupan dunia modern.
Daftar Pustaka
Dahlan, Chaidar. Sejarah Pujangga Islam:
Syekh Nawawi al-Bantani. Jakarta: CV. Sarana Utama, 1987.
Fahmi, Muhammad Ulul. Ulama Besar Biografi
dan Karyanya. Kendal : Pustaka Amanah, 2007.
Fauzan, dan
Suwito. Sejarah Para Tokoh
Pemikiran Pendidikan. Bandung: Angkasa, 2003.
Langgulung, Hasan. Manusia dan Peradaban,
Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995.
Maragustamsiregar.wordpress.com/2010/06/25/ide-ide-sentral-syekh-nawawi-al-bantani-tentang-pendidikan-islam.
Ramli,
Rafiuddin. Sejarah Hidup dan Silsilah Syekh Nawawi. Banten : Yayasan
Nawawi, 1399 H.
Siregar, Maragustam. Pemikiran
Pendidikan Syeikh Nawawi Al-Bantani. Yogyakarta: Datamedia, 2007.
Steenbrink, Kareel A. Beberapa Aspek Tentang
Islam Abad ke-19. Jakarta : Bulan Bintang, 1984
[1] Rafiuddin Ramli, Sejarah Hidup dan Silsilah
Syekh Nawawi, (Banten : Yayasan Nawawi, 1399 H) hal. 11-12.
[2] Ibid, hal. 13
[3] Kareel A.Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang
Islam Abad ke-19, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984) Cet 1, hal.117
[4] Ibid, hal.117
[5] Ibid, hal.118
[6] Ramli, Sejarah Hidup…, hal.4
[7] Steenbrink, Beberapa Aspek…, hal.120
[8] Steenbrink, Beberapa Aspek…, hal.118
[9] Muhammad Ulul Fahmi, Ulama Besar Biografi dan
Karyanya, (Kendal : Pustaka Amanah, 2007) hal.9
[10] Fahmi, Ulama Besar…, hal.10
[11]
Ramli, Sejarah Hidup.., hal.4
[12] Fahmi, Ulama…, hal.10
[13] Chaidar Dahlan, Sejarah Pujangga Islam: Syekh
Nawawi al-Bantani, (Jakarta: CV. Sarana Utama, 1987), Cet.1, hal.6.
[14] Ramli, Sejarah HIdup…, hal.5
[15] Ibid, hal.6
[16] Maragustam Siregar, Pemikiran
Pendidikan Syeikh Nawawi Al-Bantani, (Yogyakarta: Datamedia, 2007), hal. 5.
[18] Suwito dan Fauzan, Sejarah Para Tokoh Pemikiran
Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 2003), hal. 286.
[19] Hasan Langgulung, Manusia dan Peradaban,
Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995),
hal.4
[20] Maragustam, Pemikiran…, hal.252
[22] Ibid, hal.2-3
[25] Langgulung, Manusia dan Pendidikan…,
hal.203.
[31] Langgulung, Manusia dan Pendidikan…,hal.361.
[33] Ibid., hal.115
[34] Maragustamsiregar.wordpress.com/2010.
[37] Maragustamsiregar.wordpress.com/2010.