A.
PENDAHULUAN
Islam
merupakan agama rahmatan lill'alamiin yang diturunkan Allah melalui
utusan-utusanNya dan di akhiri oleh Rasulullah Muhammad saw sebagai penutupnya.
Proses penurunan ajaran Islam sendiri terjadi secara bertahap baik Al-Qur'an
maupun Hadits. Keduanya kemudian menjadi dasar hukum Islam serta menjadi
tuntunan bagi kehidupan muslim dalam kesehariannya. Pada masa kehidupan Nabi
saw, semua permasalahan akan di tanyakan kepada beliau dan langsung mendapat
jawaban yang kemudian di jadikan sebagai dasar hukum setiap permasalahan.
Adapun setelah masa itu, para sahabat dan khalifah berperan sebagai referensi bagi
masyarakat muslim pada setiap masanya dalam penjelasan hukum. Namun seiring
berkembangnya zaman, Islam tetap menunjukkan eksistensinya terutama dalam
menyikapi tuntutan realitas sosial yang semakin kompleks. Seperti
bermunculannya berbagai permasalahan baru yang tidak dibahas secara spesifik
dalam Al-Qur'an dan Hadits. Upaya tersebut di tunjukkan oleh para ulama dalam
mengembangkan berbagai teori, metode dan prinsip hukum dengan merujuk kepada
Al-Qur'an dan Hadits. Dan diantara metode penetapan hukum yang di kembangkan
para ulama adalah sadd adz-dzari'ah. Dalam implementasi-nya
metode ini merupakan upaya protective agar umat Islam lebih berhati-hati
serta terhindar dari segala sesuatu yang akan menimbulkan dampak negatif. Karena
pada dasarnya tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan
menghindari kerusakan (mafsadah). Termasuk suatu perbuatan yang belum
dilakukan namun berpotensi menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka
sejatinya hal-hal tersebut adalah dilarang. Hal ini bukan berarti bahwa hukum
Islam bersifat mengekang perbuatan manusia tetapi semata bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Pada
dasarnya dalam mencapai setiap tujuan pastilah akan melalui beberapa proses
sebagai perantara. Sehingga dalam prakteknya, setiap perantara yang menuju
kebaikan adalah diperintahkan, tetapi ketika tujuannya untuk kerusakan (mafsadah)
maka semua perantaranya adalah dilarang. Metode penetapan hukum seperti inilah
yang dikenal dengan istilah sadd adz-dzari'ah. Namun metode ini hanyalah
salah satu dari sekian metode ushul fiqh yang digunakan oleh para ulama
untuk mempelajari hukum syara', sebagai pegangan dan pedoman dalam
memberi fatwa dan berijtihad. Sehingga dengan mempelajari metode tersebut
sekaligus dapat memahami salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual
Islam serta dedikasi para ulama baik melalui pemikiran maupun karya-karyanya.
B.
PENGERTIAN
SADD AZ-DZARI'AH
1.
Secara
Etimologis
Kata
Sadd adz-Dzari'ah (سَدُّ
الذَّرِيْعَةُ) terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ) dan adz-dzari'ah (الذَّرِيْعَةُ). Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُ) merupakan kata benda abstrak (mashdar)
dari (سَدَّ – يَسُدُّ - سَدًّا) artinya adalah menutup atau menyumbat[1].
Sedangkan adz-dzari'ah (الذَّرِيْعَةُ) merupakan kata benda (ism) bentuk
tunggal yang berarti perantara (wasilah)[2].
Bentuk jamak dari adz-dzari'ah (الذَّرِيْعَةُ) adalah adz-dzara'i (الذَّرَائِعِ). Karena itulah, banyak ulama dalam
kitab-kitab ushul fiqh menggunakan istilah Sadd adz-Dzara'i (سَدُّ
الذَّرَائِعِ)[3].
Menurut
sejarahnya, masyarakat Arab menggunakan kata adz-dzari'ah sebagai
istilah dalam berburu. Yaitu ketika sang pemburu melepaskan unta yang mereka
pergunakan untuk berburu. Setelah unta di lepaskan, maka sang pemburu akan
bersembunyi di samping unta sehingga tidak akan terlihat oleh binatang buruan.
Sampai ketika unta sudah dekat dengan binatang buruan, kemudian sang pemburu
akan segera keluar dari persembunyiannya dan melepaskan panahnya. Dari
keterangan tersebut, sehingga Ibnu Arabi berpendapat kata adz-dzari'ah
digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada
sesuatu yang lain[4].
2.
Secara
Terminologi
Menurut
Al-Qarafi, sadd adz-dzari'ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah)
sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas
dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan
atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka harus dicegah
perbuatan tersebut[5].
Asy-Syaukani mengungkapkan, adz-dzari'ah adalah masalah atau perkara
yang pada lahirnya dibolehkan (jaiz) namun akan mengantarkan kepada
perbuatan yang dilarang[6].
Dalam
karyanya al-Muwafat, Asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari'ah
adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada
sesuatu yang dilarang (mamnu')[7].
Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, sadd adz-dzari'ah adalah
jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang
dibolehkan[8].
Dari
beberapa pengertian diatas, tampak sebuah persamaan seperti asy-Syathibi dan
asy-Syaukani mempersempit adz-dzari'ah sebagai sesuatu yang awalnya
diperbolehkan. Namun berbeda dengan Ibnu al-Qayyim yang mengungkapkan tentang adz-dzari'ah
sebagai sesuatu yang asalnya memang dilarang.
Berdasarkan
pandangan beberapa ulama di atas, dapat dipahami bahwa sadd adz-dzari'ah
adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan (perantara) yang pada
dasarnya diperbolehkan (jaiz) maupun dilarang (mamnu') untuk
mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
C.
KEDUDUKAN
SADD ADZ-DZARI'AH
Menurut
aspek aplikasinya, sadd adz-dzari'ah merupakan salah satu metode
pengambilan keputusan hukum (istinbath al-hukm) dalam Islam. Tetapi
apabila dilihat dari produk hukumnya, sadd adz-dzari'ah adalah salah
satu sumber hukum.
Namun
dalam prakteknya, tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzari'ah
sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama
tersebut bisa diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu pertama: menerima
sepenuhnya, kedua: tidak menerima sepenuhnya dan ketiga: adalah menolak
sepenuhnya[9].
Pertama,
adalah kelompok yang menerima sepenuhnya sadd adz-dzari'ah sebagai
metode dalam menetapkan hukum yaitu kalangan ulama madzhab Maliki dan madzhab
Hambali. Hal ini diperkuat dengan usaha mereka mengembangkan metode tersebut
dalam berbagai pembahasan fiqh dan ushul fiqh. Seperti Imam
al-Qarafi melalui karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa' al Furuq dan Imam
asy-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat.
Kedua,
yaitu kelompok yang tidak menerima sepenuhnya sadd adz-dzari'ah sebagai
metode dalam menetapkan hukum. Dengan kata lain, kalangan ulama yang menolak sadd
adz-dzari'ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu tetapi
menggunakannya pada kasus (masalah) yang lain. Yaitu madzhab Hanafi dan madzhab
Syafi'i[10]. Misalnya
Imam Syafi'i menggunakan sadd adz-dzari'ah ketika melarang seseorang
mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Menurut beliau, hal ini akan
menjadi sarana (dzari'ah) karena mencegah dalam memperoleh sesuatu yang
dihalalkan Allah padahal air merupakan rahmat Allah dan siapapun berhak mendapatkannya[11].
Adapun madzhab Hanafi menggunakan metode sadd adz-dzari'ah terhadap
wanita yang ditinggal mati suaminya dan selama masih dalam keadaan iddah
beliau melarang wanita tersebut untuk menggunakan pakaian ataupun berhias
dengan mencolok karena akan menarik lelaki. Sedangkan ia masih dalam larangan
menikah, dan larangan tersebut merupakan sadd adz-dzari'ah demi mencegah
perbuatan yang diharamkan yaitu menikahi perempuan dalam keadaan iddah[12].
Ketiga,
adalah kelompok yang menolak sepenuhnya sadd adz-dzari'ah sebagai metode
dalam menetapkan hukum yaitu madzhab Zahiri[13].
Hal tersebut sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum
berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh), sedangkan bagi mereka sadd
adz-dzari'ah hanyalah produk akal dan tidak berdasarkan pada nash
secara langsung[14].
Untuk
memperkuat penolakan terhadap metode sadd adz-dzari'ah, Ibnu Hazm
(994-1064) salah satu tokoh ulama madzhab Zahiri telah membahas penolakan
tersebut dalam bukunya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam pada bab al-ihtiyath
(kehati-hatian dalam beragama). Beliau mengatakan, bahwa konsep sadd
adz-dzari'ah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh atau tidaknya
sesuatu. Karena boleh atau tidaknya sesuatu hanya bisa ditetapkan berdasarkan nash
dan ijma' (qath'i). Sesuatu yang telah di haramkan oleh nash
tidak dapat dirubah menjadi halal kecuali dengan nash lain yang jelas
atau melalui ijma'. Karena hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan
yang kuat dari nash yang jelas atau ijma' dan hukum tidak bisa
didasari oleh prasangka semata[15].
Sebagai
ulama kalangan Az-Zahiri, Ibnu Hazm sangat keras menentang para ulama madzhab
Hanafi dan Maliki ketika mereka mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang
dalam keadaan sakit keras dan dikhawatirkan akan segera meninggal. Bagi ulama
Hanafi dan Maliki, perkawinan tersebut akan menjadi dzari'ah bagi wanita
untuk sekedar mendapatkan warisan serta menghalangi ahli waris lainnya yang
sebenarnya lebih berhak. Namun menurut Ibnu Hazm, larangan tersebut merupakan
pengharaman atas sesuatu yang sudah jelas kehalalannya. Karena menikah dan
mendapatkan bagian waris melalui hubungan pernikahan merupakan sesuatu yang
halal[16].
Dari
uraian diatas, terlihat beberapa perbedaan pendapat ulama dalam penggunaan sadd
adz-dzari'ah, namun secara umum para ulama tersebut tetap menggunakannya
dalam menentukan hukum ketika menyelesaikan beberapa permasalahan[17].
Adapun madzhab Zahiri yang menolak secara keseluruhan sadd adz-dzari'ah, karena
mereka sangatlah berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits. Sehingga semua
perbuatan harus diputuskan berdasarkan zhahir nash dan zhahir
dalam perbuatan. Menurut mereka, penggunaan sadd adz-dzari'ah hanya akan
menimbulkan upaya mengharamkan sesuatu yang halal.
Bagaimanapun
juga, bentuk pengharaman dalam sadd adz-dzari'ah adalah karena adanya faktor
eksternal (tahrim li ghairih). Maksudnya adalah, bahwa secara substansial
perbuatan tersebut tidaklah diharamkan atau tetap halal dan boleh dilakukan.
Tetapi karena terdapat faktor eksternal (li ghairih) yang akhirnya
menjadikan perbuatan tersebut menjadi dilarang. Jadi, seandainya tidak terdapat
dampak negatif atau sudah tidak ada makan perbuatan tersebut kembali kepada
hukum aslinya yaitu halal dan boleh di kerjakan.
Menurut
Elliwarti Maliki, doktor alumni Al-Azhar Kairo menyatakan bahwa sadd
adz-dzari'ah merupakan metode istinbath hukum yang mengakibatkan
kecenderungan sikap mempertahankan diri (defensive) di kalangan umat
Islam. Sehingga bisa menimbulkan ketidakberanian umat untuk berbuat sesuatu
karena selalu di liputi perasaan takut terjerumus kedalam mafsadah.
Selain itu, hukum-hukum fiqh yang dihasilkan berdasarkan sadd
adz-dzari'ah akan cenderung menjadi bias gender. Karena menghasilkan
pandangan ulama yang melarang wanita untuk berkiprah lebih luas di masyarakat,
seperti larangan wanita ke luar rumah demi mencegah bercampur dengan lelaki
yang bukan mahram[18].
Hal ini mungkin tidak bisa disalahkan, namun pada dasarnya bukanlah karena
kesalahan sadd adz-dzari'ah tetapi bagaimana orang tersebut
menerapkannya dalam kehidupan sehari-sehari.
E. DASAR HUKUM SADD ADZ-DZARI'AH
1. Al-Qur'an
Surat Al-An'am ayat 108
وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ
اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ
أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا
كَانُواْ يَعْمَلُونَ (الأية)
"Dan janganlah kamu
memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki
Allah dengan melampui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah kami jadikan
setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat
kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah
mereka kerjakan.(QS. Al-An'am : 108)[19].
Dalam ayat diatas,
mencaci atau memaki sesembahan selain Allah merupakan dzari'ah yang akan
menimbulkan mafsadah. Sehingga Allah melarang untuk memaki sesembahan
selain Allah, karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah
selain Allah itu akan mencaci Allah bahkan mungkin lebih, maka perbuatan
tersebut menjadi dilarang[20].
2.
Hadits
إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ
أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ، قِيْلَ: ياَ رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ يَلْعَنُ
الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: يَسُبُّ الرَّجُلُ أَباَ الرَّجُلُ فَيَسُبُّ
أَباَهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ (رواه البخاري ومسلم وأبو داوود)
Sesungguhnya
sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu
Rasulullah ditanya orang, "Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang
melaknat kedua ibu bapaknya?" Rasulullah menjawab, "Seseorang
mencaci-maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci-maki orang itu, dan
seseorang mencaci-maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan dicaci-maki orang
itu". (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
Hadits
diatas, menurut Ibnu Taimiyyah menunjukkan bahwa sadd adz-dzari'ah termasuk
salah satu alasan untuk menetapkan hukum syar'i, karena sabda Rasulullah
tersebut sifatnya masih dugaan, namun dasar dugaan itu Rasulullah saw
melarangnya[21].
3.
Kaidah
Fiqh
Diantara
kaidah fiqh yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari'ah
adalah :
دَرْءُ
الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Meninggalkan
keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah)[22].
Dari
kaidah diatas jelas dikatakan bahwa segala yang mengandung keburukan (mafsadah)
haruslah di hindari, sehingga dapat menjadi sandaran dalam penerapan sadd
adz-dzari'ah karena di dalamnya terdapat unsur mafsadah yang harus
di hindari.
مَادَلَّ
عَلَى الْحَرَامِ فَهُوَ حَرَامٌ
Segala
jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun
diharamkan[23].
Kaidah
ini menjelaskan bahwa untuk menciptakan setiap pekerjaan baik ataupun buruk
pasti melalui jalan, dan ketika tujuannya adalah menciptakan pekerjaan baik
hendaklah dilakukan jalan (perantara) untuk mewujudkannya. Sebaliknya, jika
pekerjaan yang akan tercipta adalah sesuatu yang dilarang (haram) maka jalan
untuk menuju kepada pekerjaan tersebut juga dilarang.
4.
Logika
Secara
logika, ketika seseorang memperbolehkan atau memerintahkan sesuatu maka ia juga
akan memperbolehkan segala hal yang akan mengantarkan terwujudnya tersebut. Begitupun
sebaliknya, ketika seseorang melarang sesuatu maka ia pun melarang segala hal
yang dapat mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang itu. Misalnya : ketika
mahasiswa diperintahkan untuk membuat tugas perkuliahan, maka sebenarnya dia
juga diperintahkan untuk mempelajari, mencari referensi, memahami,
menuliskannya kedalam sebuah makalah. Contoh lainnya, ketika di haramkannya
menggunakan minuman keras dan narkoba maka sebenarnya juga di larang untuk
memiliki, memproduksi dan menjual-belikan.
F. MACAM-MACAM SADD ADZ-DZARI'AH
Dilihat
dari aspek akibat yang ditimbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari'ah
menjadi empat macam[24],
yaitu :
1.
Suatu
perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah).
Seperti mengkonsumsi minuman keras dan narkoba yang merugikan diri sendiri.
2. Suatu
perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab),
namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi suatu keburukan
(mafsadah). Misalnya nikah at-tahlili, yaitu menikahi perempuan
yang sudah di talak tiga agar sang perempuan boleh dikawini kembali oleh mantan
suaminya.
3.
Suatu
perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak sengaja untuk
menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu
tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang
kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah)
yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh
orang-orang musyrik.
4.
Suatu
perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan
keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya
daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan
mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan
dilihat dari aspek kesepakatan ulama, Al-Qarafi dan Asy-Syatibi membagi adz-dzari'ah
menjadi tiga macam, yaitu :
1.
Sesuatu
yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau
sarana teradinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya, menanam anggur,
meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamr, atau hidup bertetangga
meskipun ada kemungkinan terjadi pertengkaran dengan tetangga.
2.
Sesuatu
yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci-maki berhala bagi orang yang
mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas
mencaci-maki Allah seketika itu pula.
3.
Sesuatu
yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti jual beli
berjangka karena khawatir ada unsur riba[25].
G. PERBEDAAN ADZ-DZARI'AH DENGAN
MUQADDIMAH
Kalau
dilihat dari fungsinya, dapat di ilustrasikan bahwa adz-dzari'ah adalah
laksana tangga yang menghubungkan ke loteng. Sedangkan muqaddimah adalah
laksana foundasi yang mendasari tegaknya dinding.
Dengan
demikian, adz-dzari'ah dititik beratkan bahwa ia sekedar sarana dan
jalan untuk mengantarkan kepada perbuatan tertentu yang menjadi tujuannya. Ia
bisa menjadi suatu perbuatan terpisah yang berdiri sendiri. Sedangkan muqaddimah
lebih dititik beratkan kepada suatu perbuatan hukum yang memang bagian dari
rangkaian perbuatan hukum tertentu. Muqaddimah merupakan perbuatan
pendahuluan yang tidak terpisahkan dari rangkaian perbuatan. Misalnya, wudhu
merupakan sesuatu perbuatan pendahuluan yang diwajibkan dalam rangkaian shalat.
Sementara itu, shalat sendiri merupakan kewajiban.
H. CARA MENENTUKAN ADZ-DZARI'AH
Untuk
menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa menjadi
sarana (adz-dzari'ah) terjadinya suatu perbuatan lain yang dilarang,
maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal[26],
yaitu :
1.
Motif
atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu perbuatan, baik
bertujuan untuk yang halal maupun yang haram. Mengenai niat tersebut, ulama
Hanafiyah dan Syafi'iyah berpendapat bahwa dasar dalam urusan dengan Allah
adalah niat sedangkan yang berkaitan antar sesama hamba (manusia) adalah lafadz-nya.
Sehingga berlaku kaidah :
الْمُعْتَبَرُ
فِى أَوَامِرِ اللهِ الْمَعْنَى وَالْمُعْتَبَرُ فِي أُمُورِ الْعِباَدِ الإِسْمُ
وَاللَّفْظُ
Patokan
dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak Allah adalah niat, sedangkan yang
berkaitan dengan hak-hak hamba (manusia) adalah lafadz-nya[27].
Misalnya,
jika terdapat indikasi yang kuat bahwa seseorang yang hendak menikahi seorang
perempuan talak tiga adalah karena sekedar untuk menghalalkan si perempuan
untuk dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu harus
dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan pernikahan yang
digariskan syar'i yaitu demi membina keluarga yang sakinah mawaddah
wa rahmah.
2.
Akibat
suatu perbuatan yang membawa dampak negatif. Jika akibat atau dampak yang
sering kali terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang dilarang (mafsadah),
maka perbuatan itu harus dicegah. Misalnya, seorang muslim yang mencaci-maki
sesembahan kaum musyrik. Niatnya mungkin untuk menunjukkan kebenaran 'aqidahnya
yang menyembah Allah swt. Tetapi, akibat caciannya ini bisa membawa dampak yang
lebih buruk lagi, yaitu munculnya cacian yang serupa atau lebih dari mereka
terhadap Allah. Karenanya perbuatan ini dilarang[28].
Dalam hal ini berlaku kaidah :
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Kebiasaan
menjadi hukum[29].
I.
KESIMPULAN
DAN PENUTUP
Sadd
adz-dzari'ah merupakan
suatu perangkat hukum dalam Islam yang di gunakan para ulama ushul fiqh
dalam menentukan hukum secara istinbath. Tujuannya adalah sebagai
rambu-rambu untuk kemaslahatan umat dan agar tidak terjerumus kedalam suatu
kerusakan (mafsadah). Meskipun dalam prakteknya, ada kalangan ulama dan
praktisi yang menolak sadd adz-dzari'ah sebagai sebuah metode penetapan
hukum namun tetaplah menjadi metode penerapan hukum yang akurat sebagaimana
yang telah di lakukan oleh kalangan ulama empat madhzab. Selain itu, sadd
adz-dzari'ah juga dapat di terapkan dalam kehidupan sehari-sehari sebagai control
baik pribadi maupun sosial. Sehingga apabila di laksanakan dengan baik, maka
akan menciptakan sebuah proteksi dalam kehidupan khususnya dalam kemaslahatan
bersama dan menjauhi mafsadah.
Sebagai
penutup, pengkaji merasa perlu mengutip perkataan Abu Zahrah bahwa sebagai
seorang mukallaf hendaklah berlaku tegas dalam menetapkan dzari'ah
dasar yang harus diambil dan ditinggalkan. Namun Allah swt Maha Mengetahui mana
yang muslih dan mufsid[30].
Wallahu
a'lam, sekian dan semoga bermanfaat.
Referensi :
Abu Zahroh, Al-Imam
Muhammad. Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958).
al-Afriqi
al-Mishri, Muhammad bin Mukarram bin Manzhur. Lisan al-Arab, (Beirut:
Dar Shadir, tt).
al-Jauziyah, Ibn
al-Qayyim. A'lam al-Muqi'in, (Beirut: Dar al-Kutub al-'ilmiyah, 2003).
Al-Qarafi,
Syihabuddin Abu al-Abbas. Tanqih al-Fushul fi Ilm al-Ushul, dalam kitab
digital al-Marji' alakbar li at turats al islami, (Syirkah al-aris
al-kumbiurat).
Hakim, Abdul
Hamid. ushul al-Fiqh wal qawaid al-fiqhiyah, (Jakarta: Maktabah
sa'adiyah putra).
Haroen, Nasrun.
Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997).
Munawwir, A.W. Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Penerbit Pustaka
Progessif, 1984).
Syarifuddin,
Amir. Ushul Fiqh jilid 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001).
[1] A.W.Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Penerbit Pustaka Progessif, 1984).
[7] Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnati al-Maliki (Asy-Syathibi), al-Muwafaqat
fi Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994).
[12] Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh
al-Kitab, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1997).
[13] Mazhab Zhahiri (bahasa Arab: ظاهري) adalah salah
satu mazhab fikih Sunni yang dikenal karena mengharuskan berpegang pada
lahiriah teks (literal) atau makna yang nampak dari teks Al-Qur'an
dan Sunnah. Imam dari mazhab ini adalah Dawud bin Khalaf
azh-Zhahiri yang
banyak dianggap orang sebagai penggagas mazhab ini, meski sebenarnya para tokoh
pengikut mazhab ini sendiri cenderung mengikuti kepada para ulama sebelumnya
seperti Sufyan ats-Tsauri dan Ishaq bin Rahawaih sebagai rujukan yang dijadikan prinsip-prinsip
fikih dari mazhab Zhahiri. Hal ini menjadikan mazhab ini termasuk sebagai
mazhab dari generasi awal umat Islam (Wikipedia).
[15] Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam
fi Ushul al-Ihkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998).
[16] Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Mahalli
bi al-Atsar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003).
[17] Sedangkan kasus paling menonjol yang
menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode sadd
adz-dzari’ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka atau
kredit (buyu’ al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi
berjangka, misalnya sebuah showroom menjual kendaraan secara kredit selama 3
tahun dengan harga Rp. 14 juta kepada seorang
konsumen. Setelah selesai transaksi, keesokan harinya sang konsumen membutuhkan
uang karena keperluan penting dan mendesak. Ia pun kemudian menjual beli kembali kendaraan tersebut kepada pihak showroom. Oleh pihak showroom, kendaraan itu dibeli secara tunai
dengan harga Rp. 12
juta. Transaksi seperti inilah
yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena terdapat unsur riba yang
sangat kentara. Pada kenyataannya, transaksi jual beli tersebut adalah
penjualan mobil secara kredit seharga Rp. 14
juta dan secara tunai seharga Rp. 12
juta. Barang yang diperjualbelikan seolah sia-sia dan tidak bermakna apa-apa.
Sementara
bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang. Namun mereka menolak
menggunakan sadd adz-dzari’ah dalam pelarangan tersebut. Pelarangannya
berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual tersebut belum jelas, karena
terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen yang menjual kembali kendaraannya sebenarnya juga belum
sepenuhnya memiliki barang tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan
demikian, transaksi kedua yang dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah
transaksi yang tidak sah (fasid). Perbedaan dua harga itu juga
mengandung unsur riba.
Bagi
mazhab Syafi'i, transaksi jual beli
kredit seperti adalah sah secara formal. Adapun aspek batin dari niat buruk si
penjual untuk melakukan riba, misalnya adalah urusan dosanya sendiri dengan
Allah. Yang menjadi patokan adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan
maksud si penjual yang tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya
berdasarkan dugaan terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.
terimaksih kak..sangat membantu
BalasHapus