Sabtu, 20 November 2010

Ya Allah, Mengapa Bencana datang berkepanjangan?

Ya Allah...
Gunung Merapi meletus lagi
Bumiku kembali tergoncang untuk kesekian kali

Ya Allah...
Perkampungan, masjid, pasar, sekolah dan rumah hancur
Atap-atap rumah berjatuhan
Sungai-sungai banyak mengalirkan lahar
Jalan-jalan terbuntu dan kehidupan terhenti

Ya Allah ...
Masyarakat berhamburan tidak tahu harus bagaimana
Suasana jalanan penuh orang panik entah mau kemana
Tagisan histeris orang tua menyelamatkan anaknya teramat menyayat jiwa
Teriakan warga menyelamatkan yang tersisa dari yang dimilikinya
Gemuruh awan panas terus bergerak meninggalkan trauma

Ya Allah..
Jerit ketakutan memekakkan
Suara kesakitan mengharukan
Bau daging terbakar tercium dari atas luka yang tidak beraturan
Mayat-mayat dari jasad korban bencana dimana-mana berserakan
Wedus gembel terus menjamah menelusuri setiap ruang tak berujung
‘Ya Allah, apakah salah kami?’ Isakku dalam ketidak berdayaan

Ya Allah...
Bencana Merapi begitu nyata adanya
Syair lagu tidak bisa mewakili guncang-nya rasa
Guratan puisi tidak bisa menunjukkan emosi yang ada
Lukisan tidak bisa mengabstraksikan kerusakan yang tak terkira
Karya sastra tidak bisa mengambarkan dasyatnya cerita


Ya Allah...
Kau pemilik keindahan, dan Kau pencipta kerusakan
Kau pembangun pengetahuan, dan Kau penyantun kebodohon
Kau pembenah keimanan, dan Kau penyusun kekafiran
Kau pelindung kemurnian, dan Kau pewujud kesesatan

Ya Allah...
Tidak ada yang tidak dalam kuasa-Mu
Karena memang kami tidak punya kuasa atas segala apa yang menjadi milik-Mu
Pantaskah kami membuat penilaian atas-Mu?
Karena Engkau-lah pemilik dari segala kemungkinan dan sesuatu

Ya Allah...
Di saat, banyak di antara kami bersujud untuk menyembah-Mu
Di saat, banyak kelompok/organisasi Islam berlomba berjuang di jalan-Mu
Di saat, banyak orang kaya mengundang sedekah untuk orang-orang miskin demi-Mu
Di saat ustad/ulama/ kyai mengajak berdzikir di koran, radio dan tv untuk memuji kebesaran-Mu
Di saat masjid, pondok pesantren, rumah yatim-piatu banyak didirikan untuk mengikuti perintah-Mu
Di saat mujahid intellectual berjuang mengkaunter pemikiran sesat menjaga kesucian Agama-Mu
Mengapa di saat seperti itu, Bencana Merapi kau datangkan pada kami berkepanjangan.
Ya Allah, apakah ini semua pertanda kasih-Mu?

Ya Allah...
Apakah dengan bencana ini, Kau ingin tahu seberapa besar keimanan kami.
Kau tahu keimanan kami tetapi apakah musibah merapi ini Kau turunkan untuk menguji kedangkalan iman kami.

Ya Allah...
Apakah dengan bencana merapi ini, Kau ingin mengingatkan bahwa telah sesat jalan kami
Kau tahu sesat diri kami tetapi apakah ini jalan satu-satunya supaya Kami kembali

Ya Allah...
Pahamkan kami

Ya Allah...
Awan panas dan lahar datang lagi
Dari satu daerah ke daerah lain terus meluas
Seolah Kau ingin memahamkan kepada kami bahwa kami akan menjadi korban untuk bencana berikutnya lagi
Selaksa Kau memahamkan kepada kami bahwa setiap hari bisa berarti hari terakhir dalam hidup kami menuju ridho-Mu

Kamis, 04 November 2010

Nasihat ustadz Asy Syaikh Ali Thanthawi

“Islam tidak menyuruh kita untuk memenjarakan nafsu dan tidak menyuruh kita menjadi seorang biarawan karena hal itu bertentangan dengan tabiat yang telah Allah tetapkan untuk kita. Demikian juga Islam tidak memerintahkan kita untuk membiarkan nafsu menjadi besar dan kuat, yang nantinya justru akan membahayakan orang lain. Namun Islam mengajarkan kepada kita bagaimana merawat dan memeliharanya agar tetap menumbuhkan cabang dan ranting yang menumbuhkan manfaat di samping memotong duri-duri yang dapat menyakiti agar memberikan hal-hal positif dan menyingkirkan mudharatnya.

Nafsu syahwat itu seperti air bah yang turun dari puncak gunung. Barang siapa berdiri menghadangnya maka ia akan diterjang dan dilumatkan. Barang siapa membiarkannya maka ia bakal memporakporandakan negeri dan memusnahkan umat manusia. Orang yang berakal sehat tentu akan membuat jalan untuknya, menggali tanah sedalam-dalamnya dan mengalirkan air bah itu ke dalam sana. Inilah yang diperbuat Islam.

Inilah sikap Islam berkenaan dengan pengendalian nafsu. Bukan kerahiban dan bukan pula permisifisme. Akan tetapi penyaluran dan pengendalian yang mendatangkan buah yang positif.

Pernikahan yang ideal menghimpun berbagai hal yang indah, semangat, maslahat, cinta dan kasih sayang. Ia semacam senyawa kimia yang kokoh tak pernah dapat diurai selamanya. Cinta sejati – sebagaimana yang kita kenal – adalah cinta yang tumbuh sebagai buah pernikahan, bukannya benih dari pernikahan.

Seandainya engkau dianugerhai harta Qarun dan fisik Herkules, lalu dihadirkan dihadapanmu sepuluh ribu wanita tercantik, dan masing-masing dari mereka memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri, apakah engkau mengira bahwa itu cukup? Tidak! Saya katakan dengan selantang-lantang suara: Tidak! Namun, satu wanita saja yang kau peroleh dengan halal, cukuplah sudah.

Wahai anakku, sesungguhnya yang dilakukan oleh seorang pezina adalah sama seperti yang dilakukan oleh sepasang suami istri, itu-itu juga. Bedanya, yang pertama sembunyi-sembunyi dan menutup diri dari pandangan orang lain, di samping sebenarnya ia senantiasa dibayang-bayangi rasa takut akan datangnya penyakit yang kini demikian marak; sesuatu yang tidak pernah kita dengar sebelumnya, suatu penyakit yang sedemikian membuat ia khawatir bahwa diri dan keluarganya akan menjadi obyek gunjingan orang.

Sedangkan yang kedua, bahkan orang-orang diundang untuk menghadiri resepsi pertemuannya: nikah. Ia perindah rumahnya dengan lampu-lampu hias, hingga orang berdatangan dengan wajah cerah mengucapkan selamat dan saat pergi mendoakannya.

Untuk yang pertama, disediakan api neraka setelah itu, sedangkan untuk yang kedua surga seluas langit dan bumi menantinya di akhirat kelak, tentu jika mereka mukmin yang niatnya lurus mengharap pahala Allah dan menjauhi hal-hal yang haram.

Nafsu syahwat itu laksana bom yang siap menghancurkan. Bila pemantiknya tidak kau sentuh, engkau aman dari kedahsyatan ledakannya, maka hati-hatilah untuk tidak menyentuh agar engkau tidak dilumatkan olehnya.

Bahwa jika engkau memandang anak gadis tetangga yang cantik, engkau merasakan suatu kenikmatan, memang benar. Itu sungguh suatu kenikmatan. Namun jangan engkau lupa bahwa gadis itu memiliki saudara laki-laki, sebagaimana juga engkau memiliki saudara perempuan. Jika engkau merasa harus membela saudara perempuannya. Apakah engkau rela saudaramu digoda oleh tetanggamu?”

Senin, 11 Oktober 2010

i 'm here

it have been long time i did not write anything
my writing still going on but later to publish

Sabtu, 05 Juni 2010

Siapakah Akhwat Sejati?

Seorang akhwat sejati bukanlah dilihat dari kecantikan paras wajahnya, tetapi dilihat dari kecantikan hati yang ada di baliknya.
Akhwat sejati bukan dilihat dari bentuk tubuhnya yang mempesona, tetapi dilihat dari sejauh mana ia menutupi bentuk tubuhnya.
Akhwat sejati bukan dilihat dari begitu banyaknya kebaikan yang ia berikan, tetapi dari keikhlasan ia memberikan kebaikan itu.
Akhwat sejati bukan dilihat dari seberapa indah lantunan suaranya, tetapi dilihat dari apa yang sering mulutnya bicarakan.
Akhwat sejati bukan dilihat dari keahliannya berbahasa, tetapi dilihat dari bagaimana caranya ia berbicara.
Akhwat sejati bukan dilihat dari keberaniannya dalam berpakaian, tetapi dilihat dari sejauh mana ia berani mempertahankan kehormatannya.
Akhwat sejati bukan dilihat dari kekhawatirannya digoda orang di jalan, tetapi dilihat dari Kekhawatiran dirinyalah yang mengundang orang jadi tergoda.
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari seberapa banyak dan besarnya ujian yang ia jalani, tetapi dilihat dari sejauhmana ia menghadapi ujian itu dengan penuh rasa syukur.
Akhwat sejati bukan dilihat dari sifat supelnya dalam bergaul, tetapi dilihat dari sejauhmana ia bisa menjaga kehormatan dirinya dalam bergaul.
Akhwat sejati tidak dilihat dari jilbabnya yang anggun, tetapi dilihat dari kedewasaannya dalam bersikap.
Akhwat sejati tidak dilihat dari retorikanya ketika aksi, tetapi dilihat dari kebijaksanaannya dalam mengambil keputusan.
Akhwat sejati tidak dilihat dari banyaknya ia berorganisasi,tetapi sebesar apa tanggungjawabnya dalam menjalankan amanah.
Akhwat sejati tidak dilihat dari kehadirannya dalam syuro’, tetapi dilihat dari kontribusinya dalam mencari solusi dari suatu permasalahan.
Akhwat sejati tidak dilihat dari tasnya yang selalu membawa Al-Qur’an,tetapi dilihat dari hafalan dan pemahamannya akan kandungan Al-Qur’an tersebut.
Akhwat sejati tidak dilihat dari aktivitasnya yang banyak, tetapi bagaimana ia mampu mengoptimalisasi waktu dengan baik.
Akhwat sejati tidak dilihat dari IP-nya yang cumlaude, tetapi bagaimana ia mengajarkan ilmunya pada umat.
Akhwat sejati tidak dilihat dari tundukan matanya ketika interaksi, tetapi bagaimana ia mampu membentengi hati.
Akhwat sejati tidak dilihat dari partisipasinya dalam menjalankan kegiatan, tetapi dilihat dari keikhlasannya dalam bekerja.
Akhwat sejati tidak dilihat dari sholatnya yang lama, tetapi dilihat dari kedekatannya pada Robb di luar aktivitas sholatnya.
Akhwat sejati tidak dilihat kasih sayangnya pada orang tua dan teman-teman, tetapi dilihat dari besarnya kekuatan cinta pada Ar-Rahman Ar-Rahiim.
Akhwat sejati tidak dilihat dari rutinitas dhuha dan tahajjudnya, tetapi sebanyak apa tetesan air mata penyesalan yang jatuh ketika sujud.

Jumat, 07 Mei 2010

sMi........

Satu lagi sejarah terukir, Arogansi bangsa kita yang sangat tidak rational dan sulit untuk di terima secara kasat mata serta kini harus mendapatkan tamparan luar biasa dari pihak asing. Dimana ibu Sri Mulyani Indrawati yang konon kata salah seorang dosen pasca sarjana di kampusku selalu di ceritakan sebagai sosok yang briliant namun tetap humble, bahkan dosen tersebut selalu menambahkan "Indonesia should be proud having Sri Mulyani and her contribution, i know her exactly how good she is..." namun disana teramat banyak orang yang sebenarnya tidak mengerti apa-apa duduk permasalahannya serta merta mencaci maki, menyumpah serapah bahkan anarkhis membakar poster-poster Sri Mulyani.
Tapi kini semua itu nyata adanya, dimana Word Bank meminangnya sebagai vise directur dan nampaklah sudah kalau kehadirannya lebih di minati dunia International ketimbang perjuangannya di negaranya sendiri, teramat mahal harga seorang pejuang sejati dimana dia telah bekerja sepenuh hati sehabis tenaga namun bukanlah penghormatan ataupun terimakasih yang dia dapatkan malah cacian karena silau dengan hasutan oknum-oknum yang menyalahkan beliau.

Kamis, 15 April 2010

Pelajaran apa yang bisa kita ambil disini?

Kembali sejarah menulis, sebuah tragedy berdarah di Tanjung Priok dimana segerombolan orang berseragam ke hijau-hijauan dengan dalih menjalankan tugas harus bentrok dengan warga sipil yang merasa bertanggung jawab atas tanah makam leluhur mereka, sekaligus makam orang yang mereka yakini telah membawa misi suci keislaman di belahan utara Jakarta tepatnya di Koja, Tanjung Priok.
Banyak misteri dalam diri masing-masing orang menanggapi kejadian tersebut. Tragis, itulah ungkapan yang tepat bagi orang yang memang menginginkan bangsa ini penuh kedamaian tanpa ada permasalah yang harus di selesaikan dengan kekerasan dan semua pihak dapat lebih mengerti serta menjunjung tinggi sikap saling menghargai dengan mencapai mufakat sebelum akhirnya mengambil sikap. Puas, mungkin inilah perasaan oknum-oknum manapun yang sangat mengedapankan ego dan keangkuhan, sebagian mungkin akan merasa puas ketika menyaksikan keangkuhan aparat penegak hukum di rendahkan masyarakat, merasa menang bisa melawan pemerintah yang mungkin dimatanya senantiasa salah, bangga bisa menghakimi pengemban-pengemban tugas mulia mewujudkan keadilan di negeri kita tercinta, bahkan mungkin teramat puas bagi oknum ‘bejat’ dalam mengadu domba serta menciptakan kekacauan seperti yang dia harapkan pada asalnya. Selanjutnya adalah prihatin, itulah ungkapan bagi orang yang menyayangkan kejadian anarkhis tersebut, kenapa harus terjadi, dimana semua media mempertontonkan kepada seluruh jajaran masyarakat tindakan tersebut, mengajarkan warga lainnya dengan provokasi bahwa petugas bisa di lawan dan mereka hanyalah bawahan yang tidak berarti tanpa perintah atasan, dengan inikah kita akan mengajarkan kepada generasi muda nantinya?. Akankah kita bercerita akan kemenangan people power serta ketidak berdayaan hukum menyentuh kekuatan massa, ataukah kita akan terus wariskan kebencian atas para penegak hukum kepada anak cucu nantinya?. Tidak, bukan itu jawabannya karena bagaimanapun negeri kita adalah Negara hukum, dimana hukum harus di junjung tinggi. Negara kita adalah negara demokrasi dalam arti yang sebenar-benarnya, dimana rakyat harus di utamakan dan tidak boleh di semena-menakan oleh kepentingan pihak tertentu.
Dua puluh enam tahun silam, tepatnya di tahun 1984 banjir darah telah terjadi di Tanjung Priok, dimana ratusan nyawa tidak berdosa yang tengah mengumandangkan takbir setelah pengajian di lapangan terbuka harus ter-eksekusi oleh keganasan rezim orde baru masa itu, terngiang masih betapa kebencian masyarakat atas keganasan aparat yang mungkin telah menghilangkan bagian dari keluarga mereka, sehingga menjadikan ratusan anak menjadi yatim, perempuan-perempuan menjadi janda tanpa pernah tahu dimana kubur suami mereka, apakah hal serupa harus terjadi sekarang di Tanjung Priok.
Sekarang tragedy itu pun telah terjadi lagi, ironisnya kembali orang-orang suruhan dan pasukan bayaran yang harus berhadapan dengan warga sipil sedangkan atasan mereka sebagai pemegang kendali dan tongkang instruksi tanpa pernah tersentuh sama sekali. Secara institusi mungkin kita bisa katakana, bahwa setelah institusi kepolisian habis di ‘telanjangi’ bahkan nyaris kehilangan harga diri di mata masyarakat, kini tinggal pasukan lini depan pemerintah daerah dalam penertiban dan penjagaan kenyamanan kota pun harus mengalami hal serupa, dimana-mana orang akan mengkritisi bahkan berteriak untuk membubarkan kesatuan satuan polisi pamong praja dengan dalih arogansi dan ketidak bersahabatan mereka dengan masyarakat yang harusnya mereka layani. Inilah wajah penegakkan hukum di negeri yang sama-sama kita cintai ini, apalah jadinya seandainya negara berdiri tanpa ada perlindungan dari para penegak-penegak hukum yang baik, ataukah kita harus katakan tidak adakah lagi para penegak hukum dari polisi dan pamong praja yang layak untuk tidak di gelari oknum? Kalau memang seperti itu adanya, pelajaran apa yang sebaiknya kita sajikan kepada generasi-generasi kita nantinya.

Senin, 08 Maret 2010

Mengenang Sang Mushashi

Pernah mendengar cerita tentang Mushasi? Dia adalah seorang Samurai yang berasal dari Jepang. Aku pernah mendengar tentang Mushashi itu dua kali. Pertama di internet, kedua dari cerita seorang kenalan yang baru saja meraih semua yang beliau impikan: “Menjadi Professor di usia muda!”
Beberapa waktu lalu, di sebuah pengajian plus perayaan ulang tahun pernikahan seorang teman dan juga ulang tahun anak nya. Ada satu hal yang membuat kami bersemangat untuk hadir dalam acara itu. Bukan makan-makannya tentu karena itu sudah pasti akan selalu membuat kami bersemangat. Tapi karena akan ada “tausyiah” dari seorang kawan atau yang lebih tepat disebut senior yang bernama Dr. Wahyudi Martono. Dia baru saja diangkat sebagai professor. Tak lama sebelum itu ia juga dilantik menjadi Head of Mechatronic Engineering di kampusnya. Sebuah karir yang menakjubkan untuk usianya yang belum mencapai 40 tahun.
Ternyata benar. Prof. Yudi, demikian kemudian kami memanggilnya setelah itu, berbagi pengalaman dengan kami tentang bagaimana membagi waktu untuk meraih cita-cita. Pertama-tama ia bercerita mengenai kondisinya ketika baru lulus dari S1 di ITB. Saat itu ia bingung, apakah akan menggeluti bidang agama dikarenakan selama kuliah ia adalah aktivis di mesjid Salman ITB, atau fokus pada bidang yang sudah ia geluti sekarang yaitu “engineering”.
Setelah itulah Prof. Yudi menceritakan tentang Mushashi. Mushashi adalah seseorang yang berjuang di jalan yang disebut jalan pedang untuk mencapai tingkat spiritual yang tinggi hingga setingkat dengan spiritual seorang pendeta yang tak lain adalah gurunya sendiri. Termotivasi dengan Mushasi, Prof. Yudi pun memutuskan untuk fokus pada bidang engineering dan mengikuti jalan pedang Mushashi, tentu saja bukan degan pedang dalam arti sesungguhnya tapi dengan menjadi ahli pada bidang yang ia geluti. Dengan harapan, ketika ia telah mencapai puncak keilmuannya, maka spiritual ia pun akan terasah pasti seperti yang dialami oleh Mushashi.
Prof. Yudi kemudian juga bercerita mengenai bagaimana mengatur waktu dan target. Ia menyampaikan itu seraya bercerita mengenai Rasulullah Muhammad S.A.W. Menurut beliau, ada hikmah yang dapat ditarik dari “life span” Rasulullah S.A.W dimana pada usia 25 tahun beliau menikah dan pada usia 40 tahun beliau menjadi rasul. Prof Yudi mengibaratkan, sampai usia 25 kita bisa fokus pada pengembangan diri kita sendiri. Usia 25 sampai 40 mungkin kita bisa fokus pada keluarga dan karir, setelah usia 40 adalah titik dimana kita bisa lebih memfokuskan hidup kita untuk orang lain dan untuk umat!
“Hmmm… analogi yang sangat menarik” pikirku.
Mungkin Prof. Yudi betul-betul termotivasi dengan Mushashi. Dan dalam mencapai jalan pedangnya dan mengikuti betul pola pengaturan waktu Rasulullah S.A.W. Tentu saja dia tidak menjadi nabi dan rasul. Tapi dia menjadi Professor. Tingkat tertinggi dari seorang akademisi. “Ya Professor adalah tingkat tertinggi dari seorang akademisi, bukan Rektor!” Begitu tegas Prof. Yudi.

Tapi sekian hari yang lalu kabar duka terdengar dari seorang teman. Prof Yudi masuk ICU! Hanya 25% dari paru-parunya yang berfungsi. Berbondong-bondong kami semua menjenguknya di Hospital tapi hanya di izinkan melihat sebentar saja itupun dari luar saja. Subhanallah, seperti yang dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an, Allah tidak akan menguji hambanya diluar batas kemampuannya. Dan memang hal itulah yang terjadi. Jika ini yang terjadi pada diri kami mungkin sudah pingsan dan menangis meraung-raung. Tapi tidak dengan istri Prof Yudi dan anak-anak beliau. Senyumnya masih tetap mengambang seperti biasa, dan ia masih bisa bercanda selayaknya kondisi normal yang terjadi dihadapannya.
“Sepertinya memang syukur dan sabar sudah mendarah daging dalam keluarga Prof. Yudi” pikir ku.
Kemudian ke-esokan harinya ketika terbangun pada pukul 5 pagi aku menerima sms bahwasanya Prof Yudi meninggal dunia pukul 2 tadi malam.
Setelah itu seolah pikiran ku sama dengan teman-teman mahasiswa lainnya “Mengapa Kau panggil Prof. Yudi begitu cepat ya Allah, disaat ia baru saja mencapai apa yang ia inginkan? Apabila aku juga mencapai apa yang aku mau, apa kah Engkau juga akan memanggil ku ya Allah? Lalu untuk apa semua hidup ku ini jika begitu?”
Secara teori mungkin kita sudah tau jawaban dari pertanyaan teman-temanku itu. Tapi dihati, itu masalahnya! Ada saat dimana kita tidak bisa menerima kenyataan, dan itulah yang terjadi saat itu pada kami semua yang tengah mengejar cita-cita.
“Engkau hidup hanya untuk Allah, dan hidup hanya lah sementara” Lakukan lah semua yang kau ingin kan di dalam hidupmu, tapi lakukan lah itu hanya untuk Nya”
Ya, kurang lebih itulah jawaban dari renungan temanku saat itu. Dan aku yakin itu semua telah dilakukan oleh Prof. Yudi, Sang Mushashi. Ia belajar, terus belajar! Ia berkarya, terus berkarya! Karyanya telah ia sampaikan pada semua murid-muridnya dan pada semua manusia dalam jurnal-jurnal ilmiahnya. Dan ia lakukan semua untuk Allah, melalui jalan pedang akademisnya.
Seperti sang Mushashi, ia telah mencapai tingkat spiritual tertinggi. Selain itu, walaupun tidak menjadi rasul dan tentu tidak ada satupun diantara kita yang akan menjadi rasul, tapi Prof Yudi telah mencapai status tertinggi dalam posisi akademis yaitu Professor di usia lebih muda setengah tahun dari Rasulullah S.A.W. ketika diangkat menjadi Rasul. Targetnya yang ia cita-citakan itu telah tercapai, dan tentu saja semua karena Allah. Hal itu terlihat jelas dalam kehidupan sehari-harinya yang sangat rendah hati dan tawadhu.
“Ya, Prof, kami hanya bisa mengantarkan mu ke bandara menuju tempat istirahat terakhirmu”. Terbesit dalam hati kami seraya terbayang bayangan Prof. Yudi tersebut. “wahai Sang Mushashi, di tanganmu lah telah lahir semangat Mushashi-Mushashi baru yang akan berjuang di jalan mu, di jalan pedang, tidak hanya seperti Mushashi, tapi seperti Umar bin Khatab, seperti Ali bin Abi Thalib, seperti Khalid bin Walid. Berjuang di jalan Allah, melalui pedang akademis seperti yang telah dilakukan oleh Ibnu Sina, Al Khawarizm, Al Jabar, dan seperti banyak ilmuwan Islam lainnya” temanku berkata lagi.
Begitulah Prof Yudi, kami semua tahu keluarga mu pasti bersyukur memiliki anak, suami, dan bapak sepertimu. Karena kami juga bangga mempunyai kenalan seperti mu. Dan kami yakin keluarga mu juga sabar melepas kepergian mu. Karena engkau juga telah menanamkan rasa syukur dan sabar pada hati mereka sama seperti yang telah engkau sampaikan pada kami semua.
Saat ini hanya satu kata yang bisa terucap, Selamat jalan Sang Mushashi, izinkan kami melanjutkan jalan pedang mu…

Senin, 25 Januari 2010

"Tidak ada dalam aturan Islam merubah keadaan masyarakat dengan cara bergerombol-gerombol, berteriak-teriak dan demonstrasi (unjuk rasa). Islam mengajarkan ketenangan, dengan mengajarkan ilmu di kalangan kaum muslimin serta mendidik mereka di atas syariat Islam sampai berhasil, walaupun harus dengan waktu yang sangat panjang."
Jadi memang solusinya lewat pendidikan dalam arti luas (lewat keluarga, sekolah, majlis ta'lim, halaqoh kampus, media massa, workshop, publikasi, et cetera .....)


-Syeikh Al-Bani-