Minggu, 31 Juli 2011

Ramadhan, bulan produktif dan prestasi.

Marhaban ya ramadhan, marhaban ya syahril mubarok. Alhamdulillah, Allah telah mempertemukan kita dengan bulan suci tahun ini. Seiring berjalannya waktu sekaranglah kita mencapai muara tersebut setelah sebelas bulan sebelumnya kita lalui. Banyak sekali fenomena yang terjadi berkenaan dengan bulan ramadhan ini, seolah merubah semua aspek kehidupan nyaris dengan keunikannya tersendiri. Seperti di masa kecil kita, betapa gembira kanak-kanak dengan kedatangan bulan suci tersebut. Ditandai dengan gempita suara petasan ataupun keramaian ketika berbondong-bondong memenuhi masjid ketika tarawih.
Namun ironisnya masih banyak pihak yang merasa bulan puasa identik sebagai bulan yang tidak produktif, dengan menganggap sebagai liburan panjang bahkan waktunya tidur panjang. Hal ini terjadi karena pandangan yang salah kaprah terhadap sebuah hadits Nabi yang mengatakan bahwa tidurnya orang berpuasa adalah ibadah, kemudian berdampak pada kebiasaan tidur-tiduran atau bermalas-malasan pada siang hari ketika berpuasa. Padahal Nabi Muhammad saw tidak pernah mencontohkan hal itu. Karena secara mafhum mukholafah kalau tidur ketika berpuasa saja ibadah, apalagi kalau waktu puasa kita gunakan untuk kebaikan dengan niat ibadah kepada Allah.
Kalau kita melihat sejarah yang telah dilakukan oleh orang-orang muslim pada zaman dahulu baik dalam sejarah Islam ataupun sejarah Indonesia, justru bulan suci ramadhan merupakan bulan produktif dan bulan prestasi. Banyak sekali produktivitas muslim terdahulu yang hasilnya dapat kita rasakan sampai sekarang, bahkan sampai generasi selanjutnya. Seperti pada 17 Ramadhan tahun kedua hijriah, Nabi Muhammad saw melakukan perang Badar. Perang tersebut merupakan perang pertama dalam Islam. Nabi bersama 314 pejuang muslim yang terdiri dari penduduk biasa, pedagang dan budak berperang melawan kelompok kafir dengan jumlah yang lebih besar dan memang tentara tempur dengan persenjataan lengkap. Dalam keadaan puasa, tanpa berbuka, pasukan muslim berjuang sangat keras dan berat hingga memenangkan pertempuran di Badar.
Contoh lainnya adalah pembebasan Makkah (fathu Makkah) pada tanggal 10 Ramadhan 8 H, Nabi bersama 10.000 Muslimin menguasai Makkah dan mengalahkan kekuasaan musyrikin Makkah. Nabi bersama muslimin memasuki Makkah tanpa peperangan dalam keadaan puasa setelah menempuh perjalanan jauh dari Madinah. Begitulah produktivitas Ramadhan yang telah di contohkan Nabi Muhammad kepada seluruh pengikutnya sepanjang zaman.
Ada pula contoh yang telah diberikan para ulama kontemporer, misalnya seperti pada bulan Ramdhan 1973. Ketika sukarelawan Ikhwanul Muslimin dan tentara regular Mesir merebut Jazirah Sinai Baru. Dalam perang tersebut 80.000 pejuang Mesir menghancurkan kekuatan Israel yang ketika itu sedang merayakan Yom Kippur hari raya agama Yahudi. Hingga akhirnya peristiwa tersebut dikenal dengan perang Badar Baru atau perang ramadhan 1973, adapun orang barat mengenalnya dengan perang Yom Kippur.
Kemudian menilik dari sejarah Indonesia sendiri, Fatahillah merebut Sunda Kelapa dari tangan Portugis pada tanggal 22 Juni 1527 bertepatan dengan 22 Ramadhan 933 H. Peristiwa tersebut juga dikenal dengan pengusiran Portugis dari pelabuhan perdagangan Sunda Kelapa oleh Fatahillah, kemenangan itu dianggap serupa dengan peristiwa Fathul Makkah sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an Surat 48 ayat 1 dengan istilah Fathan Mubiina (Kemenangan yang nyata). Kata tersebut dalam bahasa Sansekerta berarti Jayakarta. Sejak saat itu Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta atau sekarang kita kenal dengan nama Jakarta.
Selanjutnya adalah peristiwa terpenting dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu kemerdekaan yang ditandai dengan pembacaan Proklamasi oleh Sukarno-Hatta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan. Para ahli sejarah Indonesia berpendapat, karena proklamasi terjadi pada 10 hari pertama bulan Ramadhan atau disebut juga bulan Rahmat maka hal ini diabadikan dalam pembukaan UUD 1945 dengan kalimat ”berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa....”
Demikianlah diantara pelajaran yang diajarkan sejarah kepada kita generasi muslim. Saat ini kita telah memasuki bulan suci ramadhan. Di tahun 2011 ini bulan Ramadhan jatuh pada bulan Agustus, mudah-mudahan kita dapat merayakan hari kemerdekaan Indonesia serta belajar dari semangat para pejuang-pejuang kemerdekaan dalam mengangkat harga diri serta kemuliaan dirinya melalui kemerdekaan bangsa.
Dengan lebih memantapkan niat dan mengobarkan semangat dalam menjadikan Ramadhan ini sebagai bulan produktif, bulan prestasi.

Jumat, 29 Juli 2011

Biography of Hasan Langgulung

Hasan Langgulung was born in Rappang, South Sulawesi on October 16, 1934. His father was Tanrasula or known as Langgulung and his mother Siti Aminah. Hasan Langgulung took the whole basic education in Sulawesi, Indonesia. He began his education in the People's School (volkschool), now the level of Primary School in Rappang, South Sulawesi. Then he continued his education at Junior High School and Middle School Muslim in Datuk Museng, Makasar from 1949 to 1952. After that, Hasan Langgulung continued his education at the Islamic School of Islamic Unity (Persis) in Bangil, East Java.
His higher education began when he left for the Middle East in 1955 to pursue education Bachelor of Arts (BA) with specialization in Islamic Studies and Arabic Literature at the Darul Ulum, Cairo University and completed in 1960. A year later he obtained his Diploma of Education (Dip.Ed) from Ein Shams University, Cairo. At Ein Shams University in Cairo, he also earned his MA in Psychology and Mental Health (Mental Hygiene) in 1967 with a thesis on Adolescent problems and their relation to personality and self concept under supervisor Prof. Dr. Mustafa Fahmy.
After finish his master, then continued his education to the West and earned a Doctor of Philosophy (Ph.D) from the University of Georgia, the United States in 1971. By completing the dissertation by the title A Cross Cultural Study of the Child's Conception of Situational Causality in India, Western Samoa, Mexico and the United States. The supervisor was Prof. Dr. E. Paul Torrance.
During his study at the university level Hasan Langgulung was active in student organizations and teaching. This can be evidenced when he was trusted as president of Youth and Students Association of Indonesia (HPPI) in Cairo in 1957. And between 1957 until 1967 he assumed the mandate as the principal and teacher at the Cairo School Indonesia (SIC).
Since 1971, Hasan Langgulung started living in Malaysia. He began to work especially in education and teaching. On September 22, 1972 Hasan Langgulung married Nuraimah Mohammad Yunus. The couple has three children, namely Ahmad Taufiq, Nurul Huda and Siti Zakiah.
Hasan Langgulung died on August 2, 2008 in his 73 years of age. During his life time, he has produced many articles and books on educational and psychological in various languages. Such as English, Arabic, Indonesian and Malay, even some of them translated back in to other languages such as the Philippines.