Selasa, 10 November 2015

Syekh Nawawi al-Bantani Dan Kontribusinya Terhadap Pendidikan

Syekh Nawawi al-Bantani merupakan sosok ulama multidimensional dengan latar belakang pendidikan pesantren. Sebagai seorang 'alim, nama beliau sudah sangat di kenal baik di kalangan akademisi maupun praktisi pendidikan Islam di seluruh penjuru dunia. Melalui karya-karya dan pemikirannya yang monumental, beliau telah memberikan pengaruh dalam berbagai bidang keilmuan. Sampai sekarang, karya-karya syekh Nawawi masih terus di kaji dan di ajarkan sehingga memberikan pengetahuan tentang ajaran Islam yang menyejukkan umat.
Di Indonesia, syekh Nawawi telah banyak meletakkan landasan teologis dan ukhuwwah dalam tradisi keilmuan khususnya di dunia pesantren. Hal ini terlihat dari karya-karya beliau yang di jadikan bahan pembelajaran dalam pesantren tradisional khususnya di daerah Jawa. Bahkan, di kalangan komunitas pesantren, Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab tetapi juga merupakan seorang mahaguru sejati (the great scholar). Karena, beliau adalah tokoh yang piawai dalam gerakan dan pembaharuan pemikiran pendidikan. Sekaligus, beliau juga turut andil dalam membentuk intelektual tokoh-tokoh pendiri pesantren yang kemudian banyak menjadi pioneer berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Kiprah syekh Nawawi dalam dunia pendidikan dapat di rasakan melalui karya-karya beliau dalam berbagai bidang keilmuan, seperti ; ilmu tauhid, fiqh, tasawuf, dan tafsir. Kesemuanya itu telah memberikan pengaruh dalam membentuk wordview keilmuan yang di kembangkan dalam lembaga pendidikan pesantren. Selain itu, sebagai ulama asal Indonesia beliau juga telah berhasil membawa Indonesia dalam dunia intelektual muslim dunia khususnya negara-negara Timur Tengah yang sangat produktif dalam keilmuan. Melalui makalah ini, pengkaji mencoba untuk mengenalkan, mengabstraksikan serta mengindetifikasikan pemikiran syekh Nawawi al-Bantani. Dengan keterbatasan referensi yang dimiliki pengkaji, makalah ini mencoba menyampaikan pemikiran beliau tentang pendidikan serta menganalisa relevansinya dengan tuntutan modern khususnya dalam bidang pendidikan.
1.      Riwayat hidup syekh Nawawi al-Bantani
Terlahir dengan nama Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi bin Ali al-Jawi al-Bantani, pada tahun 1813 M bertepatan 1230 M. Ayahnya bernama Haji Umar bin Arabi, seorang penghulu, sekaligus pemimpin agama yang diangkat oleh Bupati pada masa kolonial Belanda. Silsilah dari garis ayahnya mencapai ke Ali Zainal Abidin bin Hasan putra Fatimah az-Zahra binti Rasulullah. Ibunya adalah Zubaidah binti Muhammad Singaraja.[1] Muhammad Nawawi lahir di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Serang, pada waktu itu masih masuk wilayah karesidenan Banten.[2]
Pendidikan awal Syekh Nawawi diperoleh dari ayahnya, Umar bin Arabi yang pada waktu itu mengajarkan sendiri dasar-dasar pengetahuan kepada anak-anaknya. Selanjutnya, sang ayah mengirimnya untuk belajar kepada seorang ulama masyhur di Serang yang bernama kyai Sahal. Setelah itu, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada Raden Haji Yusuf di Purwakarta. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Purwakarta, Nawawi berkesempatan menunaikan ibadah haji pada usia yang relatif muda.[3]
Pada usia 15 tahun, Nawawi berangkat ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Namun, setelah selesai proses ibadah haji beliau memutuskan untuk tetap tinggal di Makkah karena merasa tertarik dengan sistem pembelajaran halaqah di Masjidil Haram. Sehingga, ia memutuskan untuk bermukim di Makkah selama tiga tahun.[4] Semasa di Masjidil Haram, ia belajar dengan para ulama-ulama besar, seperti ; Syekh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Ghani Bima, seorang ulama asal Indonesia (Bima) yang bermukim di Makkah. Kemudian, ia juga belajar pada Sayyid Ahmad Dimyati dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya ke Madinah bersama Syekh Muhammad Khatib al-Hambali. Selanjutnya, ia melanjutkan pengembaraannya dalam menuntut ilmu ke Mesir dan belajar kepada para ulama besar, seperti Abdul Hamid Daghaslani dan Yusuf Sumbulaweni.[5] Setelah tiga tahun bermukim di Makkah, Nawawi kembali ke Indonesia dengan khazanah keilmuan yang telah ia peroleh. Ketika itu, ia masih menyempatkan diri untuk belajar kepada Syekh Qurra seorang ulama besar di daerah Karawang.[6]
Sekembalinya dari Karawang, Nawawi menetap di Tanara untuk menjalankan misinya yaitu mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah di perolehnya. Namun, kondisi negara Indonesia yang masih di bawah kolonial Belanda menjadikan setiap gerak-geriknya selalu mendapatkan sorotan dari pemerintah penjajah. Karena merasa tidak tenang dengan keadaan tersebut, ditambah keinginannya untuk terus menuntut ilmu hingga akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan menetap di Makkah. Tepatnya di kampung Syi'ib, dekat dengan Jabal Qubais. Disanalah Nawawi bertempat tinggal, sampai akhir hayatnya.
Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkannya menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk untuk menggantikan beliau. Sejak saat itulah, ia menjadi imam Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain itu, beliau juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah untuk mengajar murid-muridnya di lingkungan Masjidil Haram. Sebagai seorang alim yang kaya akan khazanah keilmuan, beliau selalu di kerubuti murid-muridnya untuk menimba ilmu darinya. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan dan karena kedalaman pengetahuan agama yang dimiliki, akhirnya Nawawi bergelar Syekh dan pengaruhnya semakin semakin luas tersebar kepada murid-muridnya.[7] Hampir setiap hari dari pukul 07.00-12.00, syekh Nawawi memberikan kuliah yang telah dipersiapkan sesuai tingkatan murid-muridnya. Dari murid tingkat dasar tata bahasa Arab, dan murid-murid yang cukup pintar, yaitu yang banyak terlibat dalam proses mengajar di tempat tinggalnya masing-masing. Murid dari tingkatan kedua itulah yang kemudian oleh syekh Nawawi untuk menggantikan  sebagian tugas beliau dalam mengajar.[8]
Pada tahun 1870 M, kesibukan Syekh Nawawi bertambah dengan menulis kitab. Inisiatif menulis kitab tersebut datang dari desakan sebagian kolega dan sahabatnya dari Jawa. Beliau dikenal sebagai penulis yang produktif, khususnya komentar terhadap karya-karya klasik sebelumnya, dalam banyak bidang. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab Syarh (komentar) dari ulama-ulama sebelumnya yang popular dan dianggap sulit di pahami. Alasan menulis syarh selain karena permintaan orang lain, syekh Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta'rif) dan pengurangan.[9] Karya-karyanya mencapai seratusan judul, kebanyakan berupa syarh atas karya ulama terdahulu, sekalipun beliau mempunyai pemikiran yang orisinal. Memang kecenderungan keilmuan pada abad ke-13 masih diliputi tradisi taqlid. Karya-karya semacam syarh dan hasyiyah, mengandung orisinilitas tertentu. Penulisan kedua bentuk karya ini jelas melibatkan proses kreatif, sejak dari memahami apa yang ditulis pengarang, perenungan, refleksi sampai kepada pengungkapan kembali ke dalam bentuk tulisan. Dalam menyusun karyanya, syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan para ulama-ulama besar lainnya. Sebelum di cetak, naskah tersebut akan terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Karya-karya beliau cepat menyebar ke berbagai penjuru dunia karena mudah di pahami dan padat kandungannya.[10]
Syeikh Nawawi al-Bantani mengajar di Masjidil Haram menggunakan bahasa Jawa dan Sunda ketika memberi keterangan terjemahan kitab-kitab bahasa Arab. Banyak murid-muridnya yang berasal dari Indonesia, kemudian sekembalinya ke tanah air mereka akan menjadi ulama terkenal. Di antara mereka ialah, Kiai Haji Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang (pendiri PBNU); Kiai Haji Raden Asnawi, Kudus; Kiai Haji Tubagus Muhammad Asnawi Caringin, Banten; Syeikh Muhammad Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi (Sumba, Nusa Tenggara); Syeikh Abdus Satar bin Abdul Wahhab as-Shidqi al-Makki, Sayid Ali bin Ali al-Habsyi al-Madani dan lain-lain. Tok Kelaba al-Fathani juga mengaku menerima satu amalan wirid dari Syeikh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani yang diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani.[11]
Salah seorang cucunya, yang mendapat pendidikan sepenuhnya dari Syekh Nawawi al-Bantani adalah Syeikh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Jawi al-Bantani (1285 H./1868 M.- 1324 H./1906 M.). Banyak pula murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang memimpin secara langsung barisan jihad di Cilegon melawan penjajahan Belanda pada tahun 1888 Masehi. Di antara mereka yang dianggap sebagai pemimpin perlawanan Perjuangan di Cilegon ialah Haji Wasit, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Para ulama pejuang bangsa ini adalah murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang dikader di Mekkah. Apabila disebut KH. Hasyim As'ari merupakan tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Sehingga, di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya terebut, KH. Hasyim As'ari sering bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi bahkan sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap gurunya yaitu Syekh Nawawi al-Bantani.[12]
Selain yang tersebut diatas, masih banyak murid-murid syekh Nawawi yang berasal dari seluruh penjuru dunia. Bahkan beliau menjalin hubungan intensif dengan orang-orang Arab khususnya para ulamanya. Sampai beliau mendapatkan simpati dari para ulama Timur Tengah. Kemudian akhirnya Syekh Nawawi mendapatkan beberapa gelar kehormatan yang di anugerahkan kepadanya, yaitu :[13]
1.      Imam Ulama al-Haramain "إمام العلماء الحرمين" (Tokoh Ulama dua tanah suci : Makkah dan Madinah)
2.      Syaikh al-Masyayih lil Nashir al-Ma'arif al-Diniyyah fi Mekah al-Mukarramah "شيح المشايخ لنشر المعارف الدينية في مكة المكرمة" (Guru Besar dalam bidang ilmu-ilmu Agama di kota suci Makkah)
3.      Sayyid Ulama al-Hijaz "سيد علماء الحجاز" (Penghulu Ulama Hijaz)
4.      Sayyid al-Fuqaha wa al-Hukama al-Mutaakhir "سيد الفقهاء المتأخر" (Penghulu ulama fiqh dan cendekiawan modern)
Gelar-gelar tersebut merupakan penghormatan ulama Timur-Tengah kepada Syekh Nawawi al-Bantani berkat karya-karya beliau yang bermutu dan banyak beredar di Timur-Tengah.
Gelar pertama dan kedua di berikan oleh para ulama dan pemerintah Hijaz atas kerja kerasnya dalam menyebarkan agama Islam, melalui tulisan-tulisannya. Adapun dua gelar terakhir diberikan oleh para ulama Mesir.[14] Khusus mengenai gelar Ulama al-Hijaz, yaitu setelah syekh Nawawi menulis kitab tafsirnya Marah Labib, beliau mengirimkan naskahnya kepada ulama Makkah untuk diteliti isinya lebih lanjut. Ternyata isinya disetujui, dan karena tidak ada informasi sejauh mana kesimpulan akhir dari penelitian para ulama Makkah. Kemudian, syekh Nawawi mengirimkan naskah tafsirnya kepada para ulama Mesir untuk diteliti. Tetapi, tidak ada informasi penting seputar hasil akhir dari penelitian yang dilakukan oleh para ulama Mesir. Mungkin tidak ada koreksi yang berarti, tetapi justru syekh Nawawi mendapatkan gelar sebagai Sayyid Ulama al-Hijaz.[15] Gelar-gelar tersebut merupakan bukti nyata bahwa syekh Nawawi telah memainkan peranan penting dalam wacana intelektual di dunia Islam. Karena syekh Nawawi telah berkarya dan mendapatkan gelar kehormatan dari dua negeri, yaitu Makkah dan Madinah yang dianggap sebagai pusat dunia ilmu dalam Islam.
Syekh Nawawi melalui karya-karyanya sangat dikenal di kalangan masyarakat muslim, terutama di dunia pesantren. Dalam bidang keilmuan, beliau dikenal ahli di bidang Teologi Islam, Fikih, akhlak/tasawuf, bahasa dan kesusastraan Arab serta tarikh (kelahiran/kehidupan Nabi Muhammad SAW). Sedang di bidang kependidikan Islam hampir luput dari pengamatan, padahal banyak percikan-percikan pemikiran kependidikan dalam banyak karyanya di berbagai disiplin ilmu seperti tafsir, hadits, dan akhlak/tasawuf. Oleh karena itu, upaya rekonstruksi dan mensistemastisasi pemikirannya secara konseptual menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi dunia keilmuan Islam.[16]
  Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir. Seringkali beliau hanya mengirimkan manuskripnya dan setelah itu tidak memperdulikan lagi bagaimana penerbit menyebarkan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara Timur Tengah. Di antara karya-karyanya adalah:[17]
1. Muraqah As-Su’ud At-Tashdiq; komentar dari kitab Sulam at-Taufiq.
2. Nihayatuz-Zain; komentar dari kitab Qurratul ‘Ain
3. Tausiyah ‘Ala Ibn Qasim; komentar dari kitab Fathul Qarib.
4. Tijan Ad-Durari; komentar dari kitab Risalatul Baijuri.
5. Tafsir Al-Munir; yang dinamai Marahi Labidi Li Kasyfi Ma’ani Al-Qur’an Al-Majid.
6. Sulamul Munajat; komentar dari kitab Safinatus Sholat
7. Nurudz Dzalam; komentar dari kitab Aqidatul Awam.
8. Kasyifatus Saja; komentar dari kitab Safinah an-Naja
9. Muraqil Ubudiyyah; komentar dari kitab Bidayatul Hidayah.
10. Uqudul Lujain Fi Bayaniz Zaujain; sebuah kitab yang berisikan tuntutan membangun rumah tangga.
11. Bahjatul Wasa’il; komentar dari kitab Risalatul Jami’ah
12. Madarij as-shu’ud; komentar dari kitab Maulid Barzanzi.
13. Salalimul Fudlala’; yang dinilai dengan Hidayatul Adzkiya.
14.  Ats-Tsamarul Yani’ah; komentar dari kitab Riyadhul Badi’ah.
15. Nashaihul ‘Ibad, kitab yang berisi nasihat-nasihat para ahli ibadah.
Pada usia 84 tahun, tepatnya pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M syekh Nawawi al-Bantani wafat di tempat kediamannya, kampung Syi’ib Ali, Makkah. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Ma’la, Makkah berdekatan dengan makam Ibn Hajar dan Siti Asma bin abu Bakar Siddiq. Beliau wafat pada saat sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan tentang Manhaj at-Tholibin-nya Imam Yahya bin Syaraf bin Mura bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Ammah bin Hujam an-Nawawi.[18]

2.      Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani dan relevansinya terhadap dunia modern
1.      Ide-ide sentral pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani
Mengenai penciptaan manusia dan tujuan hidupnya, Allah telah berfirman : "Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah kepada-Ku", maksud kata menyembah atau beribadah adalah meliputi seluruh tingkah laku manusia. Seperti dalam ayat lainnya : "Sesungguhnya sembahyangku, ibadah hajiku, hidupku, dan matiku semuanya adalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam". Sehingga, ibadah dalam arti yang luas itulah tujuan hidup manusia. Dan itu jugalah sepatutnya yang harus menjadi tujuan pendidikan Islam.[19] Namun, manusia mempunyai keterbatasan-keterbatasan sesuai dengan sifat kemanusiaannya dan dibatasi dengan sunnatullah yang pasti. Karena adanya keterbatasan itu, maka ilmu pengetahuan yang ditemukannya pun bersifat relatif dan nisbi. Untuk itu manusia tetap berada di dalam lingkungan Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah, dan Tauhid al-Asma wa al-Sifah. Sehingga manusia dalam pemikiran pendidikan Islam bersifat teosentris.[20]
Keberhasilan dalam menata kebudayaan termasuk pendidikan Islam merupakan perpaduan antara kehendak dan kemauan bebas manusia, hereditas, dan pengaruh dunia luar terhadap peserta didik. Tentu tiga faktor ini merupakan antroposentris yakni hasil dari akal budi manusia sesuai dengan sunnatullah yang diketahui dan diarahkan untuk mencapai kesejahteraan dunia. Dalam pandangan Islam, pola pemikiran seperti ini tidaklah cukup, karena mengingat keterbatasan-keterbatasan manusia. Untuk itu mau tidak mau manusia harus bersandar kepada Yang Maha Pengatur Jagad Raya dan segala sunnatullah-Nya. Potensi-potensi fisiologis dan psikologis manusia tidaklah cukup jika hanya mengandalkan perjanjian primordial dengan Tuhan. Potensi-potensi itu harus dikembangkan melalui pedidikan. Karena tanpa ilmu maka manusia tidak akan mampu mengemban amanah khalifah dan melaksanakan ubbudiyah yang merupakan tanggung jawab manusia untuk menunaikannya.[21]
2.      Prinsip-prinsip aktivitas Pendidikan Islam.
Hakikat pendidikan dan pengajaran dalam Islam menurut syekh Nawawi mencakup term ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Pendidikan mencakup transfer of knowledge, transfer of value, transfer of methodology, dan transformasi. Pendidikan mencakup jasmani (praktik/amal), intelektual, mental/spiritual dan berjalan sepanjang hidup dan integral.[22]
Sifat-sifat pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan Islam termasuk Syekh Nawawi sangat ketat. Hal ini karena peranan guru dalam Islam tidak sekedar alih ilmu, nilai dan metode, tetapi juga transformasi (membentuk kepribadian peserta didik). Di samping itu diyakini bahwa para pendidik menempati posisi ulama sebagai pewaris para nabi, sehingga pendidik harus dapat menjadi teladan bagi peserta didiknya. Menurut Syekh Nawawi tujuan memperoleh ilmu (tujuan pendidikan) ialah mardatillah dan memperoleh kehidupan ukhrawiyah, memberantas kebodohan, memajukan Islam, melestarikan Islam dengan kaidah-kaidah ilmu serta sebagai perwujudan dari rasa syukur karena diberi akal dan tubuh yang sehat. Kewajiban bersyukur mencakup aspek keilmuan (ranah kognitif), aspek rasa senang (ranah afektif), dan menggunakan nikmat Tuhan sesuai dengan permintaan pemberi nikmat yakni Allah (ranah psikomotor dan spiritual).[23]
Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut memerlukan pemikiran tentang muatan pendidikan Islam. Dari berbagai pernyataan Syekh Nawawi, hal utama yang diberikan dalam proses pendidikan adalah masalah ilmu-ilmu keagamaan yang wajib personal. Sedangkan yang paling utama dari kewajiban personal itu ialah iman tauhid.[24]
Kurikulum pendidikan Islam yang tidak didasarkan pada tauhid akan melahirkan manusia yang serba tergantung kepada makhluk, dan akan melahirkan manusia-manusia yang menyimpan tuhan-tuhan kecil selain Allah serta melahirkan musyrik-musyrik kecil pula. Dalam kurikulum pendidikan Islam, Syekh Nawawi menekankan ilmu muqaddimaat karena ilmu-ilmu keagamaan itu berbahasa Arab dan peserta didik berkewajiban mempelajarinya. Pada masa sekarang ini bahasa sangat dipentingkan dalam kurikulum pendidikan Islam. Bahkan kelemahan-kelemahan sekolah-sekolah keagamaan sekarang ini ialah kelemahan penguasaan bahasa. Hal ini sependapat dengan pendapat tokoh pendidikan Islam kontemporer, karena di samping menganggap penting pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh (acquired) melalui akal juga mementingkan pengetahuan melalui wahyu (perennial). Sebab wahyu, al-Qur'an dan Sunnah ini tertulis dalam bahasa Arab. Maka keahlian bahasa Arab, terutama yang berkenaan dengan tuntutan dasar Islam seperti ibadat sembahyang dan lain-lain haruslah dikuasai oleh murid-murid dari tingkat dasar.[25]
Peserta didik sebagai makhluk educandum dan educandus menurut Syekh Nawawi sangat memperhatikan lingkungan kebudayaan termasuk pendidikan dan sosialnya. Kehidupan peserta didik berada dalam suatu kontrak sosial. Eksistensi peserta didik berada dalam interdependensi baik secara sosial maupun lingkungan kebudayaan. Pengaruh lingkungan luar terhadap peserta didik sangat signifikan. Untuk itu Syekh Nawawi membuat etika peserta didik, agar lebih selektif dalam memilih lingkungan sosial dan teman dalam pergaulan.[26]
Beberapa etika peserta didik terhadap ilmu menurut Syekh Nawawi di antaranya:[27]
1. Membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran dan dosa untuk menerima ilmu, memeliharanya dan mendapatkan hasilnya.
2. Selalu mencari ridha gurunya sekalipun berbeda pendapat dengannya, tidak boleh mengumpat atau memfitnahnya, dan tidak boleh mencari-cari kesalahannya secara sembunyi-sembunyi.
3. Ia seharusnya tamak dalam belajar, disiplin dalam seluruh waktunya, malam, siang, berada di tempat dan waktu musyafir.
4.  Bersabar atas perilaku guru dan kejahatan akhlaknya.
5. Memperhatikan kesahehan pelajaran yang ia dapatkan secara benar dan meyakinkan dari gurunya.
Adapun prinsip-prinsip metodik dalam pendidikan Islam menurut pendapat Syekh Nawawi, sebagai berikut:[28]
1. Menyajikan mata pelajaran secara jelas dimulai dari yang mudah, yang konkrit yang dapat ditangkap oleh akal pikiran peserta didik, baru kemudian secara bertahap dibawa kepada yang lebih sulit dan abstrak.
2.  Dalam penyampaian materi, pendidik harus melihat keadaan peserta didiknya terutama dalam hal kemampuan dan tipologinya.
3.  Menggunakan metode mengajar sesuai dengan keadaan peserta didiknya.
4. Guru dalam menyampaikan materi tidak menambah pelajaran sebelum pelajaran yang terdahulu dipahami peserta didiknya karena hal itu akan membuat peserta didik menjadi malas.
5.  Prinsip pengulangan (tikrar) dalam pengajaran.
Selain itu, Syekh Nawawi juga mengemukakan bahwa etika relasi guru dan murid juga memberikan etika bersama antara guru dan murid. Yaitu keduanya tidak boleh melanggar kewajiban, fungsi dan kedudukan masing-masing pihak, seperti adanya penyakit ringan dan semisalnya yang dengannya ia bekerja atau sibuk. Dan ia meminta sembuh dengan ilmu dan tidak boleh bertanya kepada seseorang dengan cara menekan dan melemahkan. Bagi penanya yang demikian tidak berhak mendapatkan jawaban.[29]
Salah satu lembaga pendidikan yang penting ialah pendidikan keluarga. Keluarga memiliki dampak yang besar dalam pembentukan perilaku dan pengembangan vitalitas dan ketenangan dalam keluarga. Melalui keluarga, anak-anak mendapatkan bahasa, nilai dan norma serta kecenderungan mereka.[30] Ulama-ulama Islam klasik menekankan pentingnya peranan pendidikan bagi keluarga dan pentingnya keluarga memegang peranan itu terutama pada usia kanak-kanak. Hal itu berdasar pengalaman-pengalaman mereka sendiri, juga pengalaman dan perhatian orang-orang sebelumnya. selain itu, nash-nash al-Qur'an, sunnah dan bekas-bekas peninggalan Assalaf-Saleh yang banyak menekankan pentingnya peranan pendidikan bagi keluarga.[31] Syekh Nawawi menambahkan bahwa tanggung jawab pendidikan dalam keluarga tidak hanya mengirimkan anak kepada guru, tetapi juga tentang biaya pendidikannya. Apabila keluarga tidak mampu, maka biaya pendidikan dibebankan kepada pemerintah, sedangkan apabila pemerintah tidak mampu maka tanggung jawabnya dibebankan kepada orang-orang yang mampu.[32]
3.      Hal-hal yang mewarnai pemikiran pendidikan Islam Syekh Nawawi
Dari uraian diatas, pengkaji menggaris bawahi beberapa hal yang mewarnai pemikiran pendidikan Syekh Nawawi. Pertama, latar belakang pendidikan agama, seperti pesantren. Pengetahuan agamanya yang mendalam terlihat dalam berbagai pemikiran pendidikan beliau selalu mengutip ayat-ayat al-Qur'an, sunnah, dan riwayat-riwayat lain beserta perawinya serta pendapat ulama terkemuka. Kedua, peran guru-gurunya juga mewarnai pemikiran dan kepribadiannya. Dari sekian banyak guru, yang sangat berpengaruh dalam pemikirannya adalah Syekh Sayyid Akhmad Nakhrawi dan Syekh Sayyid Ahmad Dimyathi. Ketiga, madzhab dan tarekat yang dianutnya yakni madzhab Syafi’i dan tarekat Qadiriyah. Keempat, perkembangan pemikiran pada saat Syekh Nawawi berkecimpung dalam dunia akademik. Hal ini terlihat dari seringnya beliau mengutip pendapat pemikir abad klasik dan pertengahan, namun beliau juga dipengaruhi oleh pemikiran abad modern (1800 M). Seperti konsep pendidikan menurut Syekh Nawawi, menurutnya pendidikan adalah ibadah sebagai reformasi sosial.[33]
3. Relevansi pemikiran syekh Nawawi terhadap dunia modern
Posisi Syekh Nawawi dalam peta pemikiran pendidikan Islam posisi pemikirannya lebih dekat kepada perenialis-enensialis madzhabi. Karena dari sisi parameternya, beliau dalam memperkuat uraian pemikiran pendidikan banyak mengemukakan nash, dan pemikiran salaf asshalih masa abad klasik dan pertengahan. Disamping itu, ia mempertahankan dan melestarikan pemikiran para pendahulunya yang dianggap relevan dengan situasi sekarang. Dikatakan 'relevan' karena menurut syekh Nawawi, hasil pemikiran itu selalu terbuka untuk dikritik bahkan ditinggalkan. Dari sisi ciri-ciri pemikirannya, menekankan pada pemberian syarh dan hasyiyah terhadap pemikiran pendahulunya dan berani mengkritisi atau mengembangkan pemikiran pendahulunya untuk merekonstruksi pemikirannya sendiri. Dengan adanya pengembangan bahkan berbeda dengan yang di-syarh dan di-hasyiyah, menempatkan beliau mempunyai kemampuan yang orisinial di bidang pendidikan Islam.[34]
Dalam menggambarkan ide-ide dasar pendidikan, kecenderungan syekh Nawawi terhadap nuansa agamisnya lebih dominan sehingga aspek lain menjadi kurang dominan. Penafsiran realitas berpangkal pada agama, maka pendidikan pun dijadikannya sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan keagamaan.[35]
Pemikiran Syekh Nawawi tersebut tentu memiliki dampak positif dan dampak negatif edukatifnya. Dampak edukatif positifnya adalah rasa tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa tanggung jawab moral. Penghargaannya terhadap persoalan pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud tanggung jawab keagamaan yang sangat luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak sekadar sebagai tugas-tugas profesi kerja dan tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni sebagai tuntutan kewajiban agama. Tanggung jawab dan kewajiban agama sebagai titik sentral baik dalam kontruksi tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan. Atau dengan kata lain jika tuntutan tidak sejalan dengan tuntutan keagamaan, maka yang harus didahulukan ialah tuntutan keagamaan.[36]
Adapun dampak negatif edukatifnya. Syekh Nawawi menjadikan term al-’ilm yang dalam nash bersifat mutlak menjadi bersifat muqayyad (terbatas), hanya pada ilmu keagamaan, dan kecenderungan pencapaian spiritual yang lebih menonjol. Mendorong pemikiran pendidikan Islam ke arah pengabaian urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang sebenarnya boleh dinikmati. Oleh karena itu pengabaian urusan dunia, maka ilmu-ilmu yang bersifat keduniaan dikuasai oleh non muslim dan menjadi lemahnya pelaksanakan amar makruf nahi munkar dalam reformasi dan transformasi sosial yang bermoral. Padahal penguasaan dunia sebagai sarana pendakian kebahagiaan di akhirat.[37]
Ide-ide Syekh Nawawi tentang etika pendidik dan peserta didik dan etika bersama terdapat implikasi bahwa tokoh ini melihat peserta didik masih memerlukan tuntunan dan bimbingan. Peserta didik belum bisa lepas dari pendidik, ia tetap dalam bimbingan dan pengawasan pendidik. Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa, namun memiliki potensi yang luar biasa. Untuk itu pendidik berperan besar untuk mengaktualisasikannya.[38]
Dari berbagai keterangan Syekh Nawawi tentang kurikulum pengajaran, terdapat implikasi bahwa memandang pengetahuan itu berdasarkan dari sudut pandang aplikatif dari norma-norma agama bukan dari sudut substansi ilmu tersebut. Dengan kata lain dasar atau hal yang esensial didahulukan kemudian disusul dengan materi lain. Mendahulukan matan kitab dari pada syarh dalam pendidikan. Mendahulukan kewajiban personal kemudian disusul dengan kewajiban komunal dan sunnah komunal.[39]
Akhirnya, pengkaji melihat bahwa pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani dalam dunia pendidikan Islam yang di gagasnya tetap relevan untuk di aktualisasikan dalam dunia modern dan masyarakat Indonesia yang religious dan multicultural. Seperti, prinsip-prinsip pendidikan yang mengacu kepada tauhid illahiyyah dan reformasi sosial. Sifat dasar manusia dan proses perkembangannya ialah fitrah tauhid-dualis-interaktif berpengaruh dalam proses pembelajaran. Dana pendidikan yang dibebankan kepada orang-orang yang mampu di kalangan umat Islam termasuk prinsip yang dapat direfleksikan dalam dunia pendidikan dewasa ini.

  Kesimpulan
Syekh Nawawi al-Bantani adalah seorang ulama dan intelektual yang legendaris. Melalui karya-karyanya yang mendunia dalam berbagai bidang, menjadikannya panutan oleh banyak pemburu ilmu pengetahuan. Selain ilmu-ilmu agama, beliau juga ahli dalam bidang pendidikan. Karya-karyanya sangat luar biasa, karena banyak memiliki kandungan syarh yang padat tentang karya-karya ulama terdahulu dan telah di modifikasi sehingga memudahkan pembacanya. Pemikiran pendidikannya sangat komulatif dari mulai ide dasar, nilai-nilai, sampai panduan aktivitas pembelajaran dalam Islam. Dasarnya adalah kajiannya dari para pemikir klasik, pertengahan dan modern yang kemudian di integrasikan dengan buah pemikirannya sendiri. Menjadikan hasil dari pemikirannya sangatlah realitas dan dapat memenuhi kebutuhan para praktisi pendidikan Islam. Ditambah dengan pondasi pengetahuan keagamaan serta pemahaman hukum-hukum Islam yang mendalam, serta pengaruh para guru sehingga membentuk karakter yang matang. Pemikirannya dalam pendidikan Islam sebagian besar masih relevan untuk di terapkan dalam kehidupan dunia modern.

Daftar Pustaka

Dahlan, Chaidar. Sejarah Pujangga Islam: Syekh Nawawi al-Bantani. Jakarta: CV. Sarana Utama, 1987.
Fahmi, Muhammad Ulul. Ulama Besar Biografi dan Karyanya. Kendal : Pustaka Amanah, 2007.
Fauzan, dan Suwito. Sejarah  Para Tokoh Pemikiran Pendidikan. Bandung: Angkasa, 2003.
Langgulung, Hasan. Manusia dan Peradaban, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995.
Maragustamsiregar.wordpress.com/2010/06/25/ide-ide-sentral-syekh-nawawi-al-bantani-tentang-pendidikan-islam.
Ramli, Rafiuddin. Sejarah Hidup dan Silsilah Syekh Nawawi. Banten : Yayasan Nawawi, 1399 H.
Siregar, Maragustam. Pemikiran Pendidikan Syeikh Nawawi Al-Bantani. Yogyakarta: Datamedia, 2007.
Steenbrink, Kareel A. Beberapa Aspek Tentang Islam Abad ke-19. Jakarta : Bulan Bintang, 1984



[1]  Rafiuddin Ramli, Sejarah Hidup dan Silsilah Syekh Nawawi, (Banten : Yayasan Nawawi, 1399 H) hal. 11-12.
[2]  Ibid, hal. 13
[3]  Kareel A.Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Abad ke-19, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984) Cet 1, hal.117
[4]  Ibid, hal.117
[5]  Ibid, hal.118
[6]  Ramli, Sejarah Hidup…, hal.4
[7]  Steenbrink, Beberapa Aspek…, hal.120
[8]  Steenbrink, Beberapa Aspek…, hal.118
[9]  Muhammad Ulul Fahmi, Ulama Besar Biografi dan Karyanya, (Kendal : Pustaka Amanah, 2007) hal.9
[10]  Fahmi, Ulama Besar…, hal.10
[11] Ramli, Sejarah Hidup.., hal.4
[12] Fahmi, Ulama…, hal.10
[13]  Chaidar Dahlan, Sejarah Pujangga Islam: Syekh Nawawi al-Bantani, (Jakarta: CV. Sarana Utama, 1987), Cet.1, hal.6.
[14] Ramli, Sejarah HIdup…, hal.5
[15]  Ibid, hal.6
[16] Maragustam Siregar, Pemikiran Pendidikan Syeikh Nawawi Al-Bantani, (Yogyakarta: Datamedia, 2007), hal. 5.
[17]  Fahmi, Ulama Besar…, hal.10-12
[18] Suwito dan Fauzan, Sejarah  Para Tokoh Pemikiran Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 2003), hal. 286.
[19]  Hasan Langgulung, Manusia dan Peradaban, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), hal.4
[20] Maragustam, Pemikiran…, hal.252
[21] Maragustam, Pemikiran...., hal. 253.
[22] Ibid, hal.2-3
[23] Ibid., hal. 258-259.
[24] Ibid., hal. 259.
[25]  Langgulung, Manusia dan Pendidikan…, hal.203.
[26] Maragustam, Pemikiran....hal. 262.
[27] Ibid., hal. 81-82.
[28] Ibid., hal. 263.
[29] Ibid., hal. 82-83.
[30] Ibid., hal. 264.
[31]  Langgulung, Manusia dan Pendidikan…,hal.361.
[32] Maragustam, Pemikiran...., hal. 265.
[33]  Ibid., hal.115
[34]  Maragustamsiregar.wordpress.com/2010.
[35] Maragustam, Pemikiran....hal. 266.
[36] Ibid., hal. 267-268.
[37] Maragustamsiregar.wordpress.com/2010.
[38] Maragustam, Pemikiran...., hal. 269.
[39] Ibid., hal. 270.