Sabtu, 20 November 2010

Ya Allah, Mengapa Bencana datang berkepanjangan?

Ya Allah...
Gunung Merapi meletus lagi
Bumiku kembali tergoncang untuk kesekian kali

Ya Allah...
Perkampungan, masjid, pasar, sekolah dan rumah hancur
Atap-atap rumah berjatuhan
Sungai-sungai banyak mengalirkan lahar
Jalan-jalan terbuntu dan kehidupan terhenti

Ya Allah ...
Masyarakat berhamburan tidak tahu harus bagaimana
Suasana jalanan penuh orang panik entah mau kemana
Tagisan histeris orang tua menyelamatkan anaknya teramat menyayat jiwa
Teriakan warga menyelamatkan yang tersisa dari yang dimilikinya
Gemuruh awan panas terus bergerak meninggalkan trauma

Ya Allah..
Jerit ketakutan memekakkan
Suara kesakitan mengharukan
Bau daging terbakar tercium dari atas luka yang tidak beraturan
Mayat-mayat dari jasad korban bencana dimana-mana berserakan
Wedus gembel terus menjamah menelusuri setiap ruang tak berujung
‘Ya Allah, apakah salah kami?’ Isakku dalam ketidak berdayaan

Ya Allah...
Bencana Merapi begitu nyata adanya
Syair lagu tidak bisa mewakili guncang-nya rasa
Guratan puisi tidak bisa menunjukkan emosi yang ada
Lukisan tidak bisa mengabstraksikan kerusakan yang tak terkira
Karya sastra tidak bisa mengambarkan dasyatnya cerita


Ya Allah...
Kau pemilik keindahan, dan Kau pencipta kerusakan
Kau pembangun pengetahuan, dan Kau penyantun kebodohon
Kau pembenah keimanan, dan Kau penyusun kekafiran
Kau pelindung kemurnian, dan Kau pewujud kesesatan

Ya Allah...
Tidak ada yang tidak dalam kuasa-Mu
Karena memang kami tidak punya kuasa atas segala apa yang menjadi milik-Mu
Pantaskah kami membuat penilaian atas-Mu?
Karena Engkau-lah pemilik dari segala kemungkinan dan sesuatu

Ya Allah...
Di saat, banyak di antara kami bersujud untuk menyembah-Mu
Di saat, banyak kelompok/organisasi Islam berlomba berjuang di jalan-Mu
Di saat, banyak orang kaya mengundang sedekah untuk orang-orang miskin demi-Mu
Di saat ustad/ulama/ kyai mengajak berdzikir di koran, radio dan tv untuk memuji kebesaran-Mu
Di saat masjid, pondok pesantren, rumah yatim-piatu banyak didirikan untuk mengikuti perintah-Mu
Di saat mujahid intellectual berjuang mengkaunter pemikiran sesat menjaga kesucian Agama-Mu
Mengapa di saat seperti itu, Bencana Merapi kau datangkan pada kami berkepanjangan.
Ya Allah, apakah ini semua pertanda kasih-Mu?

Ya Allah...
Apakah dengan bencana ini, Kau ingin tahu seberapa besar keimanan kami.
Kau tahu keimanan kami tetapi apakah musibah merapi ini Kau turunkan untuk menguji kedangkalan iman kami.

Ya Allah...
Apakah dengan bencana merapi ini, Kau ingin mengingatkan bahwa telah sesat jalan kami
Kau tahu sesat diri kami tetapi apakah ini jalan satu-satunya supaya Kami kembali

Ya Allah...
Pahamkan kami

Ya Allah...
Awan panas dan lahar datang lagi
Dari satu daerah ke daerah lain terus meluas
Seolah Kau ingin memahamkan kepada kami bahwa kami akan menjadi korban untuk bencana berikutnya lagi
Selaksa Kau memahamkan kepada kami bahwa setiap hari bisa berarti hari terakhir dalam hidup kami menuju ridho-Mu

Kamis, 04 November 2010

Nasihat ustadz Asy Syaikh Ali Thanthawi

“Islam tidak menyuruh kita untuk memenjarakan nafsu dan tidak menyuruh kita menjadi seorang biarawan karena hal itu bertentangan dengan tabiat yang telah Allah tetapkan untuk kita. Demikian juga Islam tidak memerintahkan kita untuk membiarkan nafsu menjadi besar dan kuat, yang nantinya justru akan membahayakan orang lain. Namun Islam mengajarkan kepada kita bagaimana merawat dan memeliharanya agar tetap menumbuhkan cabang dan ranting yang menumbuhkan manfaat di samping memotong duri-duri yang dapat menyakiti agar memberikan hal-hal positif dan menyingkirkan mudharatnya.

Nafsu syahwat itu seperti air bah yang turun dari puncak gunung. Barang siapa berdiri menghadangnya maka ia akan diterjang dan dilumatkan. Barang siapa membiarkannya maka ia bakal memporakporandakan negeri dan memusnahkan umat manusia. Orang yang berakal sehat tentu akan membuat jalan untuknya, menggali tanah sedalam-dalamnya dan mengalirkan air bah itu ke dalam sana. Inilah yang diperbuat Islam.

Inilah sikap Islam berkenaan dengan pengendalian nafsu. Bukan kerahiban dan bukan pula permisifisme. Akan tetapi penyaluran dan pengendalian yang mendatangkan buah yang positif.

Pernikahan yang ideal menghimpun berbagai hal yang indah, semangat, maslahat, cinta dan kasih sayang. Ia semacam senyawa kimia yang kokoh tak pernah dapat diurai selamanya. Cinta sejati – sebagaimana yang kita kenal – adalah cinta yang tumbuh sebagai buah pernikahan, bukannya benih dari pernikahan.

Seandainya engkau dianugerhai harta Qarun dan fisik Herkules, lalu dihadirkan dihadapanmu sepuluh ribu wanita tercantik, dan masing-masing dari mereka memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri, apakah engkau mengira bahwa itu cukup? Tidak! Saya katakan dengan selantang-lantang suara: Tidak! Namun, satu wanita saja yang kau peroleh dengan halal, cukuplah sudah.

Wahai anakku, sesungguhnya yang dilakukan oleh seorang pezina adalah sama seperti yang dilakukan oleh sepasang suami istri, itu-itu juga. Bedanya, yang pertama sembunyi-sembunyi dan menutup diri dari pandangan orang lain, di samping sebenarnya ia senantiasa dibayang-bayangi rasa takut akan datangnya penyakit yang kini demikian marak; sesuatu yang tidak pernah kita dengar sebelumnya, suatu penyakit yang sedemikian membuat ia khawatir bahwa diri dan keluarganya akan menjadi obyek gunjingan orang.

Sedangkan yang kedua, bahkan orang-orang diundang untuk menghadiri resepsi pertemuannya: nikah. Ia perindah rumahnya dengan lampu-lampu hias, hingga orang berdatangan dengan wajah cerah mengucapkan selamat dan saat pergi mendoakannya.

Untuk yang pertama, disediakan api neraka setelah itu, sedangkan untuk yang kedua surga seluas langit dan bumi menantinya di akhirat kelak, tentu jika mereka mukmin yang niatnya lurus mengharap pahala Allah dan menjauhi hal-hal yang haram.

Nafsu syahwat itu laksana bom yang siap menghancurkan. Bila pemantiknya tidak kau sentuh, engkau aman dari kedahsyatan ledakannya, maka hati-hatilah untuk tidak menyentuh agar engkau tidak dilumatkan olehnya.

Bahwa jika engkau memandang anak gadis tetangga yang cantik, engkau merasakan suatu kenikmatan, memang benar. Itu sungguh suatu kenikmatan. Namun jangan engkau lupa bahwa gadis itu memiliki saudara laki-laki, sebagaimana juga engkau memiliki saudara perempuan. Jika engkau merasa harus membela saudara perempuannya. Apakah engkau rela saudaramu digoda oleh tetanggamu?”