Senin, 08 Maret 2010

Mengenang Sang Mushashi

Pernah mendengar cerita tentang Mushasi? Dia adalah seorang Samurai yang berasal dari Jepang. Aku pernah mendengar tentang Mushashi itu dua kali. Pertama di internet, kedua dari cerita seorang kenalan yang baru saja meraih semua yang beliau impikan: “Menjadi Professor di usia muda!”
Beberapa waktu lalu, di sebuah pengajian plus perayaan ulang tahun pernikahan seorang teman dan juga ulang tahun anak nya. Ada satu hal yang membuat kami bersemangat untuk hadir dalam acara itu. Bukan makan-makannya tentu karena itu sudah pasti akan selalu membuat kami bersemangat. Tapi karena akan ada “tausyiah” dari seorang kawan atau yang lebih tepat disebut senior yang bernama Dr. Wahyudi Martono. Dia baru saja diangkat sebagai professor. Tak lama sebelum itu ia juga dilantik menjadi Head of Mechatronic Engineering di kampusnya. Sebuah karir yang menakjubkan untuk usianya yang belum mencapai 40 tahun.
Ternyata benar. Prof. Yudi, demikian kemudian kami memanggilnya setelah itu, berbagi pengalaman dengan kami tentang bagaimana membagi waktu untuk meraih cita-cita. Pertama-tama ia bercerita mengenai kondisinya ketika baru lulus dari S1 di ITB. Saat itu ia bingung, apakah akan menggeluti bidang agama dikarenakan selama kuliah ia adalah aktivis di mesjid Salman ITB, atau fokus pada bidang yang sudah ia geluti sekarang yaitu “engineering”.
Setelah itulah Prof. Yudi menceritakan tentang Mushashi. Mushashi adalah seseorang yang berjuang di jalan yang disebut jalan pedang untuk mencapai tingkat spiritual yang tinggi hingga setingkat dengan spiritual seorang pendeta yang tak lain adalah gurunya sendiri. Termotivasi dengan Mushasi, Prof. Yudi pun memutuskan untuk fokus pada bidang engineering dan mengikuti jalan pedang Mushashi, tentu saja bukan degan pedang dalam arti sesungguhnya tapi dengan menjadi ahli pada bidang yang ia geluti. Dengan harapan, ketika ia telah mencapai puncak keilmuannya, maka spiritual ia pun akan terasah pasti seperti yang dialami oleh Mushashi.
Prof. Yudi kemudian juga bercerita mengenai bagaimana mengatur waktu dan target. Ia menyampaikan itu seraya bercerita mengenai Rasulullah Muhammad S.A.W. Menurut beliau, ada hikmah yang dapat ditarik dari “life span” Rasulullah S.A.W dimana pada usia 25 tahun beliau menikah dan pada usia 40 tahun beliau menjadi rasul. Prof Yudi mengibaratkan, sampai usia 25 kita bisa fokus pada pengembangan diri kita sendiri. Usia 25 sampai 40 mungkin kita bisa fokus pada keluarga dan karir, setelah usia 40 adalah titik dimana kita bisa lebih memfokuskan hidup kita untuk orang lain dan untuk umat!
“Hmmm… analogi yang sangat menarik” pikirku.
Mungkin Prof. Yudi betul-betul termotivasi dengan Mushashi. Dan dalam mencapai jalan pedangnya dan mengikuti betul pola pengaturan waktu Rasulullah S.A.W. Tentu saja dia tidak menjadi nabi dan rasul. Tapi dia menjadi Professor. Tingkat tertinggi dari seorang akademisi. “Ya Professor adalah tingkat tertinggi dari seorang akademisi, bukan Rektor!” Begitu tegas Prof. Yudi.

Tapi sekian hari yang lalu kabar duka terdengar dari seorang teman. Prof Yudi masuk ICU! Hanya 25% dari paru-parunya yang berfungsi. Berbondong-bondong kami semua menjenguknya di Hospital tapi hanya di izinkan melihat sebentar saja itupun dari luar saja. Subhanallah, seperti yang dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an, Allah tidak akan menguji hambanya diluar batas kemampuannya. Dan memang hal itulah yang terjadi. Jika ini yang terjadi pada diri kami mungkin sudah pingsan dan menangis meraung-raung. Tapi tidak dengan istri Prof Yudi dan anak-anak beliau. Senyumnya masih tetap mengambang seperti biasa, dan ia masih bisa bercanda selayaknya kondisi normal yang terjadi dihadapannya.
“Sepertinya memang syukur dan sabar sudah mendarah daging dalam keluarga Prof. Yudi” pikir ku.
Kemudian ke-esokan harinya ketika terbangun pada pukul 5 pagi aku menerima sms bahwasanya Prof Yudi meninggal dunia pukul 2 tadi malam.
Setelah itu seolah pikiran ku sama dengan teman-teman mahasiswa lainnya “Mengapa Kau panggil Prof. Yudi begitu cepat ya Allah, disaat ia baru saja mencapai apa yang ia inginkan? Apabila aku juga mencapai apa yang aku mau, apa kah Engkau juga akan memanggil ku ya Allah? Lalu untuk apa semua hidup ku ini jika begitu?”
Secara teori mungkin kita sudah tau jawaban dari pertanyaan teman-temanku itu. Tapi dihati, itu masalahnya! Ada saat dimana kita tidak bisa menerima kenyataan, dan itulah yang terjadi saat itu pada kami semua yang tengah mengejar cita-cita.
“Engkau hidup hanya untuk Allah, dan hidup hanya lah sementara” Lakukan lah semua yang kau ingin kan di dalam hidupmu, tapi lakukan lah itu hanya untuk Nya”
Ya, kurang lebih itulah jawaban dari renungan temanku saat itu. Dan aku yakin itu semua telah dilakukan oleh Prof. Yudi, Sang Mushashi. Ia belajar, terus belajar! Ia berkarya, terus berkarya! Karyanya telah ia sampaikan pada semua murid-muridnya dan pada semua manusia dalam jurnal-jurnal ilmiahnya. Dan ia lakukan semua untuk Allah, melalui jalan pedang akademisnya.
Seperti sang Mushashi, ia telah mencapai tingkat spiritual tertinggi. Selain itu, walaupun tidak menjadi rasul dan tentu tidak ada satupun diantara kita yang akan menjadi rasul, tapi Prof Yudi telah mencapai status tertinggi dalam posisi akademis yaitu Professor di usia lebih muda setengah tahun dari Rasulullah S.A.W. ketika diangkat menjadi Rasul. Targetnya yang ia cita-citakan itu telah tercapai, dan tentu saja semua karena Allah. Hal itu terlihat jelas dalam kehidupan sehari-harinya yang sangat rendah hati dan tawadhu.
“Ya, Prof, kami hanya bisa mengantarkan mu ke bandara menuju tempat istirahat terakhirmu”. Terbesit dalam hati kami seraya terbayang bayangan Prof. Yudi tersebut. “wahai Sang Mushashi, di tanganmu lah telah lahir semangat Mushashi-Mushashi baru yang akan berjuang di jalan mu, di jalan pedang, tidak hanya seperti Mushashi, tapi seperti Umar bin Khatab, seperti Ali bin Abi Thalib, seperti Khalid bin Walid. Berjuang di jalan Allah, melalui pedang akademis seperti yang telah dilakukan oleh Ibnu Sina, Al Khawarizm, Al Jabar, dan seperti banyak ilmuwan Islam lainnya” temanku berkata lagi.
Begitulah Prof Yudi, kami semua tahu keluarga mu pasti bersyukur memiliki anak, suami, dan bapak sepertimu. Karena kami juga bangga mempunyai kenalan seperti mu. Dan kami yakin keluarga mu juga sabar melepas kepergian mu. Karena engkau juga telah menanamkan rasa syukur dan sabar pada hati mereka sama seperti yang telah engkau sampaikan pada kami semua.
Saat ini hanya satu kata yang bisa terucap, Selamat jalan Sang Mushashi, izinkan kami melanjutkan jalan pedang mu…