Kamis, 15 April 2010

Pelajaran apa yang bisa kita ambil disini?

Kembali sejarah menulis, sebuah tragedy berdarah di Tanjung Priok dimana segerombolan orang berseragam ke hijau-hijauan dengan dalih menjalankan tugas harus bentrok dengan warga sipil yang merasa bertanggung jawab atas tanah makam leluhur mereka, sekaligus makam orang yang mereka yakini telah membawa misi suci keislaman di belahan utara Jakarta tepatnya di Koja, Tanjung Priok.
Banyak misteri dalam diri masing-masing orang menanggapi kejadian tersebut. Tragis, itulah ungkapan yang tepat bagi orang yang memang menginginkan bangsa ini penuh kedamaian tanpa ada permasalah yang harus di selesaikan dengan kekerasan dan semua pihak dapat lebih mengerti serta menjunjung tinggi sikap saling menghargai dengan mencapai mufakat sebelum akhirnya mengambil sikap. Puas, mungkin inilah perasaan oknum-oknum manapun yang sangat mengedapankan ego dan keangkuhan, sebagian mungkin akan merasa puas ketika menyaksikan keangkuhan aparat penegak hukum di rendahkan masyarakat, merasa menang bisa melawan pemerintah yang mungkin dimatanya senantiasa salah, bangga bisa menghakimi pengemban-pengemban tugas mulia mewujudkan keadilan di negeri kita tercinta, bahkan mungkin teramat puas bagi oknum ‘bejat’ dalam mengadu domba serta menciptakan kekacauan seperti yang dia harapkan pada asalnya. Selanjutnya adalah prihatin, itulah ungkapan bagi orang yang menyayangkan kejadian anarkhis tersebut, kenapa harus terjadi, dimana semua media mempertontonkan kepada seluruh jajaran masyarakat tindakan tersebut, mengajarkan warga lainnya dengan provokasi bahwa petugas bisa di lawan dan mereka hanyalah bawahan yang tidak berarti tanpa perintah atasan, dengan inikah kita akan mengajarkan kepada generasi muda nantinya?. Akankah kita bercerita akan kemenangan people power serta ketidak berdayaan hukum menyentuh kekuatan massa, ataukah kita akan terus wariskan kebencian atas para penegak hukum kepada anak cucu nantinya?. Tidak, bukan itu jawabannya karena bagaimanapun negeri kita adalah Negara hukum, dimana hukum harus di junjung tinggi. Negara kita adalah negara demokrasi dalam arti yang sebenar-benarnya, dimana rakyat harus di utamakan dan tidak boleh di semena-menakan oleh kepentingan pihak tertentu.
Dua puluh enam tahun silam, tepatnya di tahun 1984 banjir darah telah terjadi di Tanjung Priok, dimana ratusan nyawa tidak berdosa yang tengah mengumandangkan takbir setelah pengajian di lapangan terbuka harus ter-eksekusi oleh keganasan rezim orde baru masa itu, terngiang masih betapa kebencian masyarakat atas keganasan aparat yang mungkin telah menghilangkan bagian dari keluarga mereka, sehingga menjadikan ratusan anak menjadi yatim, perempuan-perempuan menjadi janda tanpa pernah tahu dimana kubur suami mereka, apakah hal serupa harus terjadi sekarang di Tanjung Priok.
Sekarang tragedy itu pun telah terjadi lagi, ironisnya kembali orang-orang suruhan dan pasukan bayaran yang harus berhadapan dengan warga sipil sedangkan atasan mereka sebagai pemegang kendali dan tongkang instruksi tanpa pernah tersentuh sama sekali. Secara institusi mungkin kita bisa katakana, bahwa setelah institusi kepolisian habis di ‘telanjangi’ bahkan nyaris kehilangan harga diri di mata masyarakat, kini tinggal pasukan lini depan pemerintah daerah dalam penertiban dan penjagaan kenyamanan kota pun harus mengalami hal serupa, dimana-mana orang akan mengkritisi bahkan berteriak untuk membubarkan kesatuan satuan polisi pamong praja dengan dalih arogansi dan ketidak bersahabatan mereka dengan masyarakat yang harusnya mereka layani. Inilah wajah penegakkan hukum di negeri yang sama-sama kita cintai ini, apalah jadinya seandainya negara berdiri tanpa ada perlindungan dari para penegak-penegak hukum yang baik, ataukah kita harus katakan tidak adakah lagi para penegak hukum dari polisi dan pamong praja yang layak untuk tidak di gelari oknum? Kalau memang seperti itu adanya, pelajaran apa yang sebaiknya kita sajikan kepada generasi-generasi kita nantinya.